BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Stroke
2.1.1 Defenisi Stroke
Stroke adalah sindrom yang
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (GPDO) dengan awitan akut,
disertai manifestasi klinis berupa defisit neurologis dan bukan sebagai akibat
tumor, trauma ataupun infeksi susunan saraf pusat. (Dewanto, 2009). Faktor
resiko utama untuk Stroke Iskemik adalah hipertensi, bertambahnya usia, merokok, penyakit jantung
yang menyebabkan embolisme, hiperkolesterolemia dan diabetes. (Ethical digest,
2005)
2.1.2 Klasifikasi Stroke Iskemik
a. Berdasarkan sebab terjadinya
1. Stroke Trombotik
Stroke jenis ini terjadi jika thrombus
(bekuan darah) terbentuk di sekitar plak arterosklerotik.
2. Stroke Embolik
Terjadi akibat bekuan darah atau
gumpalan lemak, udara, sel kanker atau bakteri yang terbawa aliran darah.
Keadaan ini terjadi secara mendadak dengan gejala klinis yang akut, tetapi
dapat berlangsung sementara jika emboli tersebut diabsorpsi, berpindahnya tempat
atau hancur. Emboli paling sering berasal dari jantung, umumnya akibat
fibrilasi.
3. Hipoperfusi sistemik
Keadaan ini disebabkan berkurangnya
aliran darah ke bagian tubuh, yang biasanya dijumpai pada gagal jantung baik
akibat terhentinya maupun terganggunya irama jantung(aritmia), atau pada
keadaan seperti infark, emboli paru, efusi perkardium dan perdarahan.
4. Trombosis vena
Terjadi akibat peningkatan tekanan vena
sekitar, misalnya pada thrombosis sinus vena serebral ketika tekanan vena
melebihi tekanan arteri, dapat menyebabkan stroke. Infark terjadi akibat
perdarahan sebagai bentuk lain stroke iskemik.
b. Berdasarkan
stadium pertimbangan waktu
Berdasarkan klasifikasi menurut The National Institute of Neurological
disorders Stroke membagi menjadi :
1. Transient Ischemik Attack (TIA) adalah
suatu gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya berlangsung
kurang dari 24 jam dan membaiknya defisit neurologi dalam waktu kurang dari 30
menit yang disebabkan oleh thrombus atau emboli.
2. Reversible Ischemic Neurological Deficit
(RIND) adalah gejala neurologic yang timbul dan akan menghilang dalam waktu
lebih dari 24 jam dan membaiknya deficit neurologi dalam waktu kurang dari 1
minggu.
c. Berdasarkan
sistem pembuluh darah terdapat sistem karotis dan vertebrobasiler.
d. Berdasarkan
klasifikasi gambaran klinis tipe iskemik terdapat total anterior circulation infark (TACI), partial anterior circulation infark (PACI), lacunar infark (LACI), posterior
circulation infark (POCI).
2.1.3 Faktor resiko stroke
Faktor resiko stroke diklasifikasikan
menjadi 3 bagian berdasarkan potensi yang dapat dimodifikasi dan kekuatan
pembuktiannya, yaitu :
a. Faktor
resiko yang dapat dimodifikasi, antara lain : usia, jenis kelamin, ras dan
riwayat keluarga.
b. Faktor
resiko yang dapat dimodifikasi, antara lain :
1. Hipertensi
(penyebab utama stroke iskemik di dunia) :
Peningkatan
tekanan darah mengakibatkan stres pada dinding pembuluh darah sampai merusak
dinding pembuluh darah sehingga apabila kolesterol terperangkap dari arteri
otak akan menghambat aliran otak.
2. Arteri
fibrilasi
Bisa membentuk bekuan bekuan darah
yang apabila terbawa aliran ke otak akan menyebabkan stroke.
3.
Diabetes mellitus
Kerusakan otak akan semakin parah
apabila kadar gula darah meningkat saat stroke.
4.
Paparan asap rokok (pada pasien
meninggal akibat stroke pada usia di bawah 65 tahun)
Mengurangi jumlah O2
dalam darah sehingga jantung bekerja lebih keras dan mudah terbentuk bekuan
darah dan plak (Aterosklerosis)
5.
Dislipidemia
Plak yang terbentuk oleh LDL
kolesterol dan trigliserida dapat menghambat aliran darah ke otak dan
menyebabkan stroke.
6.
Alkohol, sickle cell disease, stenosis arteri carotis, terapi hormone
postmonopause
7.
Faktor gaya hidup yang berhubungan
dengan resiko stroke (obesitas, kurang bergerak, kurang konsumsi makanan dan
kurang baiknya distribusi lemak – lemak tubuh.
c.
Faktor resiko yang berpotensi dapat
dimodifikasi antara lain : metabolic syndrome, penyalahgunaan obat
dan alkohol, penggunaan kontrasepsi oral, migran, faktor inflamasi (fibrinogen
dapat meningkatkan resiko). (Ikawati, 2011)
2.1.4 Patofisiologi Stroke Iskemik
Stroke
Iskemik paling sering disebabkan oleh kurangnya aliran darah ke seluruh tubuh
atau sebagian otak, yang menyebabkan deprivasi neuron dari glukosa dan oksigen
vital. Deprivasi ini, jika berat dan berkepanjangan, menyebabkan gangguan pada
proses selular normal dan akhirnya menyebabkan kematian sel disertai pecahnya
membran sel saraf. Iskemia dapat juga disebabkan oleh deprivasi oksigen saja
(kerusakan karena hipoksi-iskemik serta dapat juga terjadi pada pasien yang
mengalami henti jantung, kolaps respiratori atau keduanya) atau deprivasi
glukosa saja (seperti yang terjadi pada pasien diabetes yang overdosis
insulin). Tekanan darah yang sangat rendah (ada atau tidak ada) dapat
menghasilkan pola khas infark watershed, biasanya
region jaringan yang mengalami infark di antara arteri serebri mayor.
Ketika
sebuah arteri teroklusi dan otak kekurangan aliran darah, hampir selalu
terdapat inhibisi segera pada fungsi alami neuron yang diberi makanan oleh
arteri tsb. Neuron berhenti melakukan fungsi normal, dan pasien akan mengalami
gejala yang berkaitan dengan bagian otak yang terkena (baal, hilangnya
penglihatan). (Alway, 2011)
2.1.5 Gejala dan Manifestasi Klinik
Gejala
umum stroke antara lain mati rasa (paresthesia)
dan kelumpuhan (hemiparesis)
secara tiba-tiba pada lengan, kaki, wajah yang lebih sering terjadi pada
separuh bagian tubuh. Gejala lain yang muncul antara lain bingung, kesulitan
bicara atau memahami pembicaraan, berkurangnya fungsi penglihatan melalui salah
satu mata atau kedua mata, kesulitan dalam berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan
atau koordinasi, sakit kepala yang parah tanpa sebab, lemah bahkan tidak
sadar. Efek penyakit stroke tergantung
lokasi kerusakan otak dan bagaimana keparahan mempengaruhi kondisi tsb. Stroke yang sangat
parah dapat menyebabkan kematian mendadak.
Tanda–tanda stroke yang dialami pasien
diantaranya adalah :
1. Disfungsi neurologik lebih dari satu dan penurunan fungsi
tsb bersifat spesifik ditentukan oleh daerah otak yang terkena.
2. Hemi atau monoparesis
3. Vetigo dan penglihatan kabur, yang
dapat disebabkan oleh sirkulasi posterior yang terlibat di dalamnya.
4. Kesulitan berbicara atau memahami
pembicaraan.
5. Kesulitan melafalkan ucapan dengan
jelas, penurunan lapang pandang visual dan perubahan tingkat kesadaran.
(Ikawati, 2011)
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
penunjang yang biasa dilakukan pada pasien stroke meliputi : pemeriksaan darah
lengkap, laju endap darah, pemeriksaan ureum, elektrolit, glukosa, lipid,
pemeriksaan rontgen dada, EKG dan CT-scan
kepala.
2.1.7
Pencegahan
1.
Pencegahan primer
Langkah
pertama dalam mencegah stroke adalah dengan memodifikasi gaya hidup dalam
segala hal dan memodifikasi faktor resiko. Anjuran bagi pasien stroke dalam
pencegahan primer yaitu :
1. Menghindari
: rokok, stress mental, minum kopi dan alkohol, kegemukan, obat-obat golongan
yang mempengaruhi serebrovaskular seperti amfetamin, kokain dan sejenisnya.
2. Mengurangi
: asupan lemak, asupan kalori, konsumsi garam yang berlebihan, kolesterol yang
berlebihan.
3. Mengontrol
atau mengendalikan : hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, konsumsi
makanan seimbang, olahraga teratur 3-4 kali seminggu.
Penatalaksanaan
diabetes yang baik merupakan faktor penting lain dalam pencegahan stroke
primer. Meningkatkan kadar gula darah secara berkepanjangan berkaitan erat
dengan disfungsi sel endotel yang pada gilirannya membentuk aterosklerosis (Price Sylvia, 2006)
2.
Pencegahan sekunder
Mengacu
kepada strategi untuk mencegah kekambuhan stroke. Dapat dilakukan dengan
mengontrol faktor resiko stroke atau aterosklerosis melalui modifikasi gaya
hidup berikut ini: Mengobati hipertensi dengan obat dan diet, mengobati DM
dengan obat hipoglikemik dan diet, mengobati penyakit jantung dengan obat
antitrombotik, mengatasi dislipidemia dan berhenti merokok.
2.2
Diabetes Mellitus
2.2.1 Defenisi Diabetes Mellitus
Diabetes
mellitus adalah suatu sindrom kronis gangguan metabolisme karbohidrat, protein
dan lemak, akibat ketidakcukupan sekresi insulin pada jaringan yang dituju.
(Dorlan, 2002). Diabetes mellitus atau penyakit gula atau kencing manis adalah
penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal
(hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin.
2.2.2 Epidemiologi
Diabetes Mellitus
Di
dalam epidemiologi Diabetes mellitus, dikenal 3 periode dalam transisi
epidemiologis. Hal tsb tidak saja berkembang di Indonesia tetapi juga di
Negara-negara lain yang sedang berkembang.
a.
Periode 1 ( Era pestilence dan kelaparan)
Dengan kedatangan orang-orang barat ke Asia
pada akhir abad ke 15, datang pula penyakit penyakit menular seperti pes,
kolera, influenza, TB dan penyakit kelamin, yang meningkatkan angka kematian.
Harapan hidup bayi rendah dan pertambahan penduduk juga sangat rendah pada
waktu itu.
b.
Periode II
Pandemi berkurang pada akhir abad ke 19.
Dengan perbaikan gizi, hygiene,
sanitasi, penyakit menular berkurang dan mortalitas menurun. Rata rata harapan
hidup pada waktu lahir meningkat dan jumlah penduduk seperti di pulau Jawa nampak
berubah.
c.
Periode III
Periode ini merupakam era penyakit
degenerative dan pencemaran karena komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat
barat serta adopsi cara kehidupan barat, penyakit degenerative seperti
hipertensi, penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus meningkat. Tetapi
apabila kontak dengan barat kurang dan masih terdapat kehidupan tradisional,
seperti di daerah pedesaan penyakit-penyakit tsb jarang ditemukan. (Sudoyo,
2009)
Berikut Klasifikasi DM dan bukan DM
Bukan DM
|
puasa
|
Vena < 180
Kapiler <
80
|
2 jam PP
|
|
Gangguan
toleransi glukosa
|
puasa
|
Vena 100 - 140
Kapiler 80 -
120
|
2 jam PP
|
Vena 100 - 140
Kapiler 80 -
120
|
DM
|
puasa
|
Vena > 140
Kapiler >
120
|
2 jam PP
|
Vena > 200
Kapiler >
200
|
2.2.3
Diabetes mellitus Tipe II (Hasdianah, 2012)
Diabetes
mellitus tipe II ( Bahasa Inggris : adult-onset diabetes, obesity-related
diabetes, non-insulin-dependent diabetes melltus, NIDDM) merupakan tipe
diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam
sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolism yang disebabkan oleh
mutasi pada banyak gen termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel beta
pankreas, gangguan sekresi hormone insulin, resistansi sel terhadap insulin yang
disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan kofator hormone resistin yang
menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi peka terhadap insulin
serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan
sekresi gula darah oleh hati.
Mutasi
gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat
yang ditemukan manusia. Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio
RBP4 dan hormone resistin yang tinggi, peningkatan laju metabolism
glikogenolisis dan glukogeneogenesis pada hati, penurunan laju reaksi oksidasi
dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati. NIDDM juga dapat disebabkan
oleh displipidemia, lipodistrofi dan sindrom resistansi insulin.
Pada
tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap
insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah.
Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan
sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar,
namun semakin parah penyakit, sekresi insulinpun semakin berkurang dan terapi
dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab
pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui
sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam
kaitan dengan pengeluaran dari adipokinesis merusak toleransi glukosa.
Menurut
tahapan klinis tanpa pertimbangan pathogenesis, di buat menjadi :
1. Insulin requiring for survival
diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptide –C
2. Insulin requiring for control
diabetes
Pada
tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak cukup untuk mencapai gejala
normpligecemia, jika tidak disertai dengan tambahan hormone dari luar tubuh
3. Non insulin requiring diabetes
Kelas empat pada tahap klinis serupa
dengan klasifikasi IDDM (insulin
dependent diabetes mellitus), sedang tahap kelima dan keenam merupakan
anggota klasifikasi NIDDM (non-insulin
dependent diabetes mellitus). IDDM dan NIDDM merupakan klasifikasi yang
tercantum pada International of desease pada tahun 1991 dan revisi ke-10 International Classification of Desease
pada tahun 1992.
2.2.4
Patogenesis Diabetes Mellitus
Seiring
dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko terhadap terjadinya
DM, sehingga sekarang dikenal istilah prediabetes. Prediabetes merupakan
kondisi tingginya gula darah puasa (gula darah puasa 100-125mg/dL) atau
gangguan toleransi glukosa (kadar gula darah 140-199mg/dL, 2 jam setelah
pembebanan 75 g glukosa). Modifikasi gaya hidup mencakup menjaga pola makan
yang baik, olah raga dan penurunan berat badan dapat memperlambat perkembangan
prediabetes menjadi DM. Bila kadar gula darah mencapai >200 mg/dL maka
pasien ini masuk dalam kelas Diabetes Melitus (DM).
Gangguan
metabolisme karbohidrat pada lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi insulin,
hilangnya pelepasan insulin fase pertama sehingga lonjakan awal insulin
postprandial tidak terjadi pada lansia dengan DM, peningkatan kadar glukosa postprandial
dengan kadar gula glukosa puasa normal. Di antara ketiga gangguan tersebut,
yang paling berperanan adalah resistensi insulin. Hal ini ditunjukkan dengan
kadar insulin plasma yang cukup tinggi pada 2 jam setelah pembebanan glukosa 75
gram dengan kadar glukosa yang tinggi pula. Timbulnya resistensi insulin pada
lansia dapat disebabkan oleh 4 faktor perubahan komposisi tubuh: massa otot
lebih sedikit dan jaringan lemak lebih banyak, menurunnya aktivitas fisik
sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor
insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan pola makan lebih
banyak makan karbohidrat akibat berkurangnya jumlah gigi sehingga, perubahan
neurohormonal (terutama insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan
dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa
akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin.Selain
gangguan metabolisme glukosa, pada DM juga terjadi gangguan metabolisme lipid
sehingga dapat terjadi peningkatan berat badan sampai obesitas, dan bahkan
dapat pula terjadi hipertensi. Bila ketiganya terjadi pada seorang pasien, maka
pasien tersebut dikatakan sebagai mengalami sindrom metabolik.(kurniawan, 2010)
2.2.5 Manifestasi Klinik
Gejala
klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan
tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan meningkatnya
usia terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru
dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu,
karena mekanisme haus terganggu seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun
tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah mengalami dehidrasi
hiperosmolar akibat hiperglikemia berat. DM pada lansia umumnya bersifat
asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti
kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau
kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah
jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM pada lansia
seringkali agak terlambat. Bahkan, DM pada lansia seringkali baru terdiagnosis
setelah timbul penyakit lain. Berikut ini adalah data M.V. Shestakova (1999)
mengenai manifestasi klinis pasien lansia sebelum diagnosis DM ditegakkan.
sistem
kardiovaskular
|
Hipertensi
arterial
|
50%
|
Infark
miokard
|
10%
|
|
Penyakit
serebrovaskular
|
5%
|
|
kaki
|
Neuropati
|
30%
|
Ulkus
pada kaki
|
8%
|
|
Amputasi
kaki
|
5%
|
|
Mata
|
katarak
|
50%
|
Renopati
proliferatif
|
5%
|
|
kebutaan
|
3%
|
|
ginjal
|
Infeksi
ginjal dan saluran kemih
|
45%
|
proteinuria
|
10%
|
|
Gagal
ginjal
|
3%
|
Di
sisi lain, adanya penyakit akut (seperti infark miokard akut, stroke,
pneumonia, infeksi saluran kemih, trauma fisik/ psikis) dapat meningkatkan
kadar glukosa darah. Hal ini menyebabkan lansia yang sebelumnya sudah mengalami
toleransi glukosa darah terganggu (TGT) meningkat lebih tinggi kadar gula darah
sehingga mencapai kriteria diagnosis DM. Tata laksana kondisi medis akut itu
dapat membantu mengatasi eksaserbasi intoleransi glukosa tersebut.
2.2.6
Diagnosis
Pada
usia 75 tahun, diperkirakan sekitar 20% lansia mengalami DM, dan kurang lebih
setengahnya tidak menyadari adanya penyakit ini. Oleh sebab itu, American
Diabetes Association (ADA) menganjurkan penapisan (skrining) DM
sebaiknya dilakukan terhadap orang yang berusia 45 tahun ke atas dengan
interval 3 tahun sekali. Interval ini dapat lebih pendek pada pasien berisiko
tinggi (terutama dengan hipertensi dan dislipidemia) Sebagaimana tes diagnostik
lainnya, hasil tes terhadap DM perlu diulang untuk menyingkirkan kesalahan laboratorium,
kecuali diagnosis DM dibuat berdasarkan keadaan klinis seperti pada pasien
dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia. Tes yang sama
dapat juga diulang untuk kepentingan konformasi. Kadangkala ditemukan hasil tes
pada seorang pasien yang tidak bersesuaian (misalnya antara kadar gula darah
puasa dan HbA1C). Jika nilai dari kedua hasil tes tersebut melampaui ambang
diagnostik DM, maka pasien tersebut dapat dipastikan menderita DM. Namun, jika
terdapat ketidaksesuaian (diskordansi) pada hasil dari kedua tes tersebut, maka
tes yang melampaui ambang diagnostik untuk DM perlu diulang kembali dan
diagnosis dibuat berdasarkan hasil tes ulangan. Jika seorang pasien memenuhi
kriteria DM berdasarkan pemeriksaan HbA1C (kedua hasil >6,5%), tetapi tidak memenuhi
kriteria berdasarkan kadar gula darah puasa (<126 mg/dL) atau sebaliknya,
maka pasien tersebut dianggap menderita DM.
2.2.7 Tata Laksana
Target
terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk lansia dengan
komorbiditas minimal dan <8,0% untuk lansia yang renta, harapan hidup <5
tahun, dan lansia yang berisiko bila dilakukan kontrol gula darah intensif
risiko. Namun, rekomendasi target terapi ini tidak mutlak dan perlu disesuaikan
secara individual menurut tingkat disabilitas, angka harapan hidup, dan
kepatuhan pengobatan. Anjuran terapi DM yang banyak digunakan saat ini adalah sebagaimana
dianjurkan dalam guideline konsensus ADAEASD untuk terapi DM tipe 2
(2008)
Berdasarkan konsensus
ini, terapi DM tipe 2 dibagi menjadi 2 tingkatan.
a. Tingkat
1: terapi utama yang telah terbukti (well validated core therapies).Intervensi
ini merupakan yang paling banyak digunakan dan paling cost-effective untuk
mencapai target gula darah. Terapi tingkat 1 ini terdiri dari modifikasi
gaya hidup (untuk menurunkan berat badan & olah raga), metformin,
sulfonilurea, dan insulin.
b. Tingkat
2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated therapies)
Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada
sebagian orang, tetapi dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena masih
terbatasnya pengalaman klinis. Termasuk ke dalam tingkat 2 ini adalah
tiazolidindion (pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-1
agonis (exenatide)
Modifikasi gaya hidup
1.
Terapi diet.
Terapi diet untuk lansia dapat merupakan sebuah masalah
tersendiri karena adanya berbagai keterbatasan, antara lain berupa:
keterbatasan finansial, tidak mampu menyediakan bahan makanan karena masalah
transportasi/ mobilitas, tidak mampu menyiapkan makanan (terutama pada lansia pria
tanpa istri), keterbatasan dalam mengikuti instruksi diet karena adanya
gangguan fungsi kognitif, berkurangnya pengecapan karena berkurangnya kepekaan
dan jumlah reseptor pengecap, meningkatnya kejadian konstipasi pada lansia.
Total kalori dan komposisi makanan juga harus diperhitungkan.
2.
Olahraga
Berikut ini adalah pertimbangan
manfaat-risiko olah raga pada lansia:
Manfaat
|
resiko
|
Perbaikan
toleransi glukosa
|
Hipoglikemia
|
Peningkatan
kemampuan konsumsi oksigen maksimum
|
Cedera pada
tulang-sendi dan kaki Sudden cardiac death
|
Peningkatan kekuatan
otot
|
|
Penurunan
tekanan darah
|
|
Pengurangan
lemak tubuh
|
|
Perbaikan
profil lipid
|
|
2.2.8 Pencegahan diabetes
1. Pencegahan primer
Semua
aktifitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya hiperglikemia pada individu
yang beresiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.
2. Pencegahan sekunder
Menemukan
pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada
populasi resiko tinggi, dengan demikian pasien DM yang sebelumnya tidak
terdiagnossis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya
untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada koplikasi masih reversible.
3. Pencegahan tersier
Semua
upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi tsb. Usaha ini
meliputi :
1.
Mencegah timbulnya komplikasi
2.
Mencegah progresi daripada komplikasi
tsb supaya tidak menjadi kegagalan organ
3.
Mencegah kecatatan tubuh (Sudoyono,
2009)
Komentar
Posting Komentar