Langsung ke konten utama

bab 2 proposal penelitian



BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke
            2.1.1 Defenisi Stroke
               Stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (GPDO) dengan awitan akut, disertai manifestasi klinis berupa defisit neurologis dan bukan sebagai akibat tumor, trauma ataupun infeksi susunan saraf pusat. (Dewanto, 2009). Faktor resiko utama untuk Stroke Iskemik adalah hipertensi,  bertambahnya usia, merokok, penyakit jantung yang menyebabkan embolisme, hiperkolesterolemia dan diabetes. (Ethical digest, 2005)
            2.1.2 Klasifikasi Stroke Iskemik
                        a.         Berdasarkan sebab terjadinya
                                    1.         Stroke Trombotik
Stroke jenis ini terjadi jika thrombus (bekuan darah) terbentuk di sekitar plak arterosklerotik.


                                    2.         Stroke Embolik
            Terjadi akibat bekuan darah atau gumpalan lemak, udara, sel kanker atau bakteri yang terbawa aliran darah. Keadaan ini terjadi secara mendadak dengan gejala klinis yang akut, tetapi dapat berlangsung sementara jika emboli tersebut diabsorpsi, berpindahnya tempat atau hancur. Emboli paling sering berasal dari jantung, umumnya akibat fibrilasi.
                                    3.         Hipoperfusi sistemik
Keadaan ini disebabkan berkurangnya aliran darah ke bagian tubuh, yang biasanya dijumpai pada gagal jantung baik akibat terhentinya maupun terganggunya irama jantung(aritmia), atau pada keadaan seperti infark, emboli paru, efusi perkardium dan perdarahan.
                                    4.         Trombosis vena
Terjadi akibat peningkatan tekanan vena sekitar, misalnya pada thrombosis sinus vena serebral ketika tekanan vena melebihi tekanan arteri, dapat menyebabkan stroke. Infark terjadi akibat perdarahan sebagai bentuk lain stroke iskemik.
b.         Berdasarkan stadium pertimbangan waktu
Berdasarkan klasifikasi menurut The National Institute of Neurological disorders Stroke membagi menjadi :
1.         Transient Ischemik Attack (TIA) adalah suatu gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam dan membaiknya defisit neurologi dalam waktu kurang dari 30 menit yang disebabkan oleh thrombus atau emboli.
2.         Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) adalah gejala neurologic yang timbul dan akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam dan membaiknya deficit neurologi dalam waktu kurang dari 1 minggu.
c.         Berdasarkan sistem pembuluh darah terdapat sistem karotis dan vertebrobasiler.
d.         Berdasarkan klasifikasi gambaran klinis tipe iskemik terdapat total anterior circulation infark (TACI), partial anterior circulation infark (PACI), lacunar infark (LACI), posterior circulation infark (POCI).
            2.1.3 Faktor resiko stroke
Faktor resiko stroke diklasifikasikan menjadi 3 bagian berdasarkan potensi yang dapat dimodifikasi dan kekuatan pembuktiannya, yaitu :
a.       Faktor resiko yang dapat dimodifikasi, antara lain : usia, jenis kelamin, ras dan riwayat keluarga.
b.      Faktor resiko yang dapat dimodifikasi, antara lain :
1.      Hipertensi (penyebab utama stroke iskemik di dunia) :
Peningkatan tekanan darah mengakibatkan stres pada dinding pembuluh darah sampai merusak dinding pembuluh darah sehingga apabila kolesterol terperangkap dari arteri otak akan menghambat aliran otak.
2.      Arteri fibrilasi
            Bisa membentuk bekuan bekuan darah yang apabila terbawa aliran ke otak akan menyebabkan stroke.
3.      Diabetes mellitus
            Kerusakan otak akan semakin parah apabila kadar gula darah meningkat saat stroke.
4.      Paparan asap rokok (pada pasien meninggal akibat stroke pada usia di bawah 65 tahun)
            Mengurangi jumlah O2 dalam darah sehingga jantung bekerja lebih keras dan mudah terbentuk bekuan darah dan plak (Aterosklerosis)
5.      Dislipidemia
            Plak yang terbentuk oleh LDL kolesterol dan trigliserida dapat menghambat aliran darah ke otak dan menyebabkan stroke.
6.      Alkohol, sickle cell disease, stenosis arteri carotis, terapi hormone postmonopause
7.      Faktor gaya hidup yang berhubungan dengan resiko stroke (obesitas, kurang bergerak, kurang konsumsi makanan dan kurang baiknya distribusi lemak – lemak tubuh.
c.                   Faktor resiko yang berpotensi dapat dimodifikasi antara lain :  metabolic syndrome, penyalahgunaan obat dan alkohol, penggunaan kontrasepsi oral, migran, faktor inflamasi (fibrinogen dapat meningkatkan resiko). (Ikawati, 2011)
2.1.4               Patofisiologi Stroke Iskemik
              Stroke Iskemik paling sering disebabkan oleh kurangnya aliran darah ke seluruh tubuh atau sebagian otak, yang menyebabkan deprivasi neuron dari glukosa dan oksigen vital. Deprivasi ini, jika berat dan berkepanjangan, menyebabkan gangguan pada proses selular normal dan akhirnya menyebabkan kematian sel disertai pecahnya membran sel saraf. Iskemia dapat juga disebabkan oleh deprivasi oksigen saja (kerusakan karena hipoksi-iskemik serta dapat juga terjadi pada pasien yang mengalami henti jantung, kolaps respiratori atau keduanya) atau deprivasi glukosa saja (seperti yang terjadi pada pasien diabetes yang overdosis insulin). Tekanan darah yang sangat rendah (ada atau tidak ada) dapat menghasilkan pola khas infark watershed, biasanya region jaringan yang mengalami infark di antara arteri serebri mayor.
              Ketika sebuah arteri teroklusi dan otak kekurangan aliran darah, hampir selalu terdapat inhibisi segera pada fungsi alami neuron yang diberi makanan oleh arteri tsb. Neuron berhenti melakukan fungsi normal, dan pasien akan mengalami gejala yang berkaitan dengan bagian otak yang terkena (baal, hilangnya penglihatan). (Alway, 2011)
2.1.5               Gejala dan Manifestasi Klinik
              Gejala umum stroke antara lain mati rasa (paresthesia) dan kelumpuhan (hemiparesis) secara tiba-tiba pada lengan, kaki, wajah yang lebih sering terjadi pada separuh bagian tubuh. Gejala lain yang muncul antara lain bingung, kesulitan bicara atau memahami pembicaraan, berkurangnya fungsi penglihatan melalui salah satu mata atau kedua mata, kesulitan dalam berjalan, pusing, kehilangan  keseimbangan  atau koordinasi, sakit kepala yang parah tanpa sebab, lemah bahkan tidak sadar. Efek penyakit stroke tergantung  lokasi kerusakan otak dan bagaimana keparahan  mempengaruhi kondisi tsb. Stroke yang sangat parah dapat menyebabkan kematian mendadak.
                       Tanda–tanda stroke yang dialami pasien diantaranya adalah :           
                       1.           Disfungsi neurologik lebih dari satu dan penurunan fungsi tsb bersifat spesifik ditentukan oleh daerah otak yang terkena.
  2.         Hemi atau monoparesis
3.           Vetigo dan penglihatan kabur, yang dapat disebabkan oleh sirkulasi posterior yang terlibat di dalamnya.
4.           Kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan.
5.           Kesulitan melafalkan ucapan dengan jelas, penurunan lapang pandang visual dan perubahan tingkat kesadaran. (Ikawati, 2011)


2.1.6               Pemeriksaan Penunjang
              Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada pasien stroke meliputi : pemeriksaan darah lengkap, laju endap darah, pemeriksaan ureum, elektrolit, glukosa, lipid, pemeriksaan rontgen dada, EKG dan CT-scan kepala.
2.1.7                             Pencegahan
1.                     Pencegahan primer
              Langkah pertama dalam mencegah stroke adalah dengan memodifikasi gaya hidup dalam segala hal dan memodifikasi faktor resiko. Anjuran bagi pasien stroke dalam pencegahan primer yaitu :
1.      Menghindari : rokok, stress mental, minum kopi dan alkohol, kegemukan, obat-obat golongan yang mempengaruhi serebrovaskular seperti amfetamin, kokain dan sejenisnya.
2.      Mengurangi : asupan lemak, asupan kalori, konsumsi garam yang berlebihan, kolesterol yang berlebihan.
3.      Mengontrol atau mengendalikan : hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, konsumsi makanan seimbang, olahraga teratur 3-4 kali seminggu.
              Penatalaksanaan diabetes yang baik merupakan faktor penting lain dalam pencegahan stroke primer. Meningkatkan kadar gula darah secara berkepanjangan berkaitan erat dengan disfungsi sel endotel yang pada gilirannya membentuk aterosklerosis (Price Sylvia, 2006)
2.                     Pencegahan sekunder
                          Mengacu kepada strategi untuk mencegah kekambuhan stroke. Dapat dilakukan dengan mengontrol faktor resiko stroke atau aterosklerosis melalui modifikasi gaya hidup berikut ini: Mengobati hipertensi dengan obat dan diet, mengobati DM dengan obat hipoglikemik dan diet, mengobati penyakit jantung dengan obat antitrombotik, mengatasi dislipidemia dan berhenti merokok.
2.2 Diabetes Mellitus
      2.2.1 Defenisi Diabetes Mellitus
            Diabetes mellitus adalah suatu sindrom kronis gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, akibat ketidakcukupan sekresi insulin pada jaringan yang dituju. (Dorlan, 2002). Diabetes mellitus atau penyakit gula atau kencing manis adalah penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin.

      2.2.2          Epidemiologi Diabetes Mellitus
              Di dalam epidemiologi Diabetes mellitus, dikenal 3 periode dalam transisi epidemiologis. Hal tsb tidak saja berkembang di Indonesia tetapi juga di Negara-negara lain yang sedang berkembang.
a.       Periode 1 ( Era pestilence dan kelaparan)
        Dengan kedatangan orang-orang barat ke Asia pada akhir abad ke 15, datang pula penyakit penyakit menular seperti pes, kolera, influenza, TB dan penyakit kelamin, yang meningkatkan angka kematian. Harapan hidup bayi rendah dan pertambahan penduduk juga sangat rendah pada waktu itu.
b.      Periode II
        Pandemi berkurang pada akhir abad ke 19. Dengan perbaikan gizi, hygiene, sanitasi, penyakit menular berkurang dan mortalitas menurun. Rata rata harapan hidup pada waktu lahir meningkat dan jumlah penduduk seperti di pulau Jawa nampak berubah.
c.       Periode III
        Periode ini merupakam era penyakit degenerative dan pencemaran karena komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat barat serta adopsi cara kehidupan barat, penyakit degenerative seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus meningkat. Tetapi apabila kontak dengan barat kurang dan masih terdapat kehidupan tradisional, seperti di daerah pedesaan penyakit-penyakit tsb jarang ditemukan. (Sudoyo, 2009)
      Berikut Klasifikasi DM dan bukan DM
Bukan DM
puasa
Vena < 180
Kapiler < 80
2 jam PP

Gangguan toleransi glukosa
puasa
Vena 100 - 140
Kapiler 80 - 120
2 jam PP
Vena 100 - 140
Kapiler 80 - 120
DM
puasa
Vena > 140
Kapiler > 120
2 jam PP
Vena > 200
Kapiler > 200

2.2.3 Diabetes mellitus Tipe II (Hasdianah, 2012)
                  Diabetes mellitus tipe II ( Bahasa Inggris : adult-onset diabetes, obesity-related diabetes, non-insulin-dependent diabetes melltus, NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolism yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel beta pankreas, gangguan sekresi hormone insulin, resistansi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan kofator hormone resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi peka terhadap insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati.
                 Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan manusia. Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio RBP4 dan hormone resistin yang tinggi, peningkatan laju metabolism glikogenolisis dan glukogeneogenesis pada hati, penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati. NIDDM juga dapat disebabkan oleh displipidemia, lipodistrofi dan sindrom resistansi insulin.
                 Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulinpun semakin berkurang dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokinesis merusak toleransi glukosa.
                 Menurut tahapan klinis tanpa pertimbangan pathogenesis, di buat menjadi :
1.      Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptide –C
2.      Insulin requiring for control diabetes
      Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak cukup untuk mencapai gejala normpligecemia, jika tidak disertai dengan tambahan hormone dari luar tubuh
3.      Non insulin requiring diabetes
      Kelas empat pada tahap klinis serupa dengan klasifikasi IDDM (insulin dependent diabetes mellitus), sedang tahap kelima dan keenam merupakan anggota klasifikasi NIDDM (non-insulin dependent diabetes mellitus). IDDM dan NIDDM merupakan klasifikasi yang tercantum pada International of desease pada tahun 1991 dan revisi ke-10 International Classification of Desease pada tahun 1992.
2.2.4 Patogenesis Diabetes Mellitus
Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko terhadap terjadinya DM, sehingga sekarang dikenal istilah prediabetes. Prediabetes merupakan kondisi tingginya gula darah puasa (gula darah puasa 100-125mg/dL) atau gangguan toleransi glukosa (kadar gula darah 140-199mg/dL, 2 jam setelah pembebanan 75 g glukosa). Modifikasi gaya hidup mencakup menjaga pola makan yang baik, olah raga dan penurunan berat badan dapat memperlambat perkembangan prediabetes menjadi DM. Bila kadar gula darah mencapai >200 mg/dL maka pasien ini masuk dalam kelas Diabetes Melitus (DM).
Gangguan metabolisme karbohidrat pada lansia meliputi tiga hal yaitu resistensi insulin, hilangnya pelepasan insulin fase pertama sehingga lonjakan awal insulin postprandial tidak terjadi pada lansia dengan DM, peningkatan kadar glukosa postprandial dengan kadar gula glukosa puasa normal. Di antara ketiga gangguan tersebut, yang paling berperanan adalah resistensi insulin. Hal ini ditunjukkan dengan kadar insulin plasma yang cukup tinggi pada 2 jam setelah pembebanan glukosa 75 gram dengan kadar glukosa yang tinggi pula. Timbulnya resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4 faktor perubahan komposisi tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih banyak, menurunnya aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor  insulin yang siap berikatan dengan insulin, perubahan pola makan lebih banyak makan karbohidrat akibat berkurangnya jumlah gigi sehingga, perubahan neurohormonal (terutama insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma) sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin.Selain gangguan metabolisme glukosa, pada DM juga terjadi gangguan metabolisme lipid sehingga dapat terjadi peningkatan berat badan sampai obesitas, dan bahkan dapat pula terjadi hipertensi. Bila ketiganya terjadi pada seorang pasien, maka pasien tersebut dikatakan sebagai mengalami sindrom metabolik.(kurniawan, 2010)
2.2.5 Manifestasi Klinik
Gejala klasik DM seperti poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tidak selalu tampak pada lansia penderita DM karena seiring dengan meningkatnya usia terjadi kenaikan ambang batas ginjal untuk glukosa sehingga glukosa baru dikeluarkan melalui urin bila glukosa darah sudah cukup tinggi. Selain itu, karena mekanisme haus terganggu seiring dengan penuaan, maka polidipsi pun tidak terjadi, sehingga lansia penderita DM mudah mengalami dehidrasi hiperosmolar akibat hiperglikemia berat. DM pada lansia umumnya bersifat asimptomatik, kalaupun ada gejala, seringkali berupa gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional (antara lain delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh, dan inkontinensia urin). Inilah yang menyebabkan diagnosis DM pada lansia seringkali agak terlambat. Bahkan, DM pada lansia seringkali baru terdiagnosis setelah timbul penyakit lain. Berikut ini adalah data M.V. Shestakova (1999) mengenai manifestasi klinis pasien lansia sebelum diagnosis DM ditegakkan.
sistem kardiovaskular
Hipertensi arterial
50%
Infark miokard
10%
Penyakit serebrovaskular
5%
kaki
Neuropati
30%
Ulkus pada kaki
8%
Amputasi kaki
5%
Mata
katarak
50%
Renopati proliferatif
5%
kebutaan
3%
ginjal
Infeksi ginjal dan saluran kemih
45%
proteinuria
10%
Gagal ginjal
3%

Di sisi lain, adanya penyakit akut (seperti infark miokard akut, stroke, pneumonia, infeksi saluran kemih, trauma fisik/ psikis) dapat meningkatkan kadar glukosa darah. Hal ini menyebabkan lansia yang sebelumnya sudah mengalami toleransi glukosa darah terganggu (TGT) meningkat lebih tinggi kadar gula darah sehingga mencapai kriteria diagnosis DM. Tata laksana kondisi medis akut itu dapat membantu mengatasi eksaserbasi intoleransi glukosa tersebut.
2.2.6 Diagnosis
Pada usia 75 tahun, diperkirakan sekitar 20% lansia mengalami DM, dan kurang lebih setengahnya tidak menyadari adanya penyakit ini. Oleh sebab itu, American Diabetes Association (ADA) menganjurkan penapisan (skrining) DM sebaiknya dilakukan terhadap orang yang berusia 45 tahun ke atas dengan interval 3 tahun sekali. Interval ini dapat lebih pendek pada pasien berisiko tinggi (terutama dengan hipertensi dan dislipidemia) Sebagaimana tes diagnostik lainnya, hasil tes terhadap DM perlu diulang untuk menyingkirkan kesalahan laboratorium, kecuali diagnosis DM dibuat berdasarkan keadaan klinis seperti pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia. Tes yang sama dapat juga diulang untuk kepentingan konformasi. Kadangkala ditemukan hasil tes pada seorang pasien yang tidak bersesuaian (misalnya antara kadar gula darah puasa dan HbA1C). Jika nilai dari kedua hasil tes tersebut melampaui ambang diagnostik DM, maka pasien tersebut dapat dipastikan menderita DM. Namun, jika terdapat ketidaksesuaian (diskordansi) pada hasil dari kedua tes tersebut, maka tes yang melampaui ambang diagnostik untuk DM perlu diulang kembali dan diagnosis dibuat berdasarkan hasil tes ulangan. Jika seorang pasien memenuhi kriteria DM berdasarkan pemeriksaan HbA1C (kedua hasil >6,5%), tetapi tidak memenuhi kriteria berdasarkan kadar gula darah puasa (<126 mg/dL) atau sebaliknya, maka pasien tersebut dianggap menderita DM.
2.2.7 Tata Laksana
Target terapi DM yang dianjurkan adalah HbA1c <7,0% untuk lansia dengan komorbiditas minimal dan <8,0% untuk lansia yang renta, harapan hidup <5 tahun, dan lansia yang berisiko bila dilakukan kontrol gula darah intensif risiko. Namun, rekomendasi target terapi ini tidak mutlak dan perlu disesuaikan secara individual menurut tingkat disabilitas, angka harapan hidup, dan kepatuhan pengobatan. Anjuran terapi DM yang banyak digunakan saat ini adalah sebagaimana dianjurkan dalam guideline konsensus ADAEASD untuk terapi DM tipe 2 (2008)
Berdasarkan konsensus ini, terapi DM tipe 2 dibagi menjadi 2 tingkatan.
a. Tingkat 1: terapi utama yang telah terbukti (well validated core therapies).Intervensi ini merupakan yang paling banyak digunakan dan paling cost-effective untuk mencapai target gula darah. Terapi tingkat 1 ini terdiri dari modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan berat badan & olah raga), metformin, sulfonilurea, dan insulin.
b. Tingkat 2: terapi yang belum banyak dibuktikan (less well validated therapies) Intervensi ini terdiri dari pilihan terapi yang berguna pada sebagian orang, tetapi dikelompokkan ke dalam tingkat 2 karena masih terbatasnya pengalaman klinis. Termasuk ke dalam tingkat 2 ini adalah tiazolidindion (pioglitazon) dan Glucagon Like Peptide-1/GLP-1 agonis (exenatide)
Modifikasi gaya hidup
1.      Terapi diet.
Terapi diet untuk lansia dapat merupakan sebuah masalah tersendiri karena adanya berbagai keterbatasan, antara lain berupa: keterbatasan finansial, tidak mampu menyediakan bahan makanan karena masalah transportasi/ mobilitas, tidak mampu menyiapkan makanan (terutama pada lansia pria tanpa istri), keterbatasan dalam mengikuti instruksi diet karena adanya gangguan fungsi kognitif, berkurangnya pengecapan karena berkurangnya kepekaan dan jumlah reseptor pengecap, meningkatnya kejadian konstipasi pada lansia. Total kalori dan komposisi makanan juga harus diperhitungkan.
2.      Olahraga
Berikut ini adalah pertimbangan manfaat-risiko olah raga pada lansia:
Manfaat
resiko
Perbaikan toleransi glukosa
Hipoglikemia
Peningkatan kemampuan konsumsi oksigen maksimum
Cedera pada tulang-sendi dan kaki Sudden cardiac death
Peningkatan kekuatan otot

Penurunan tekanan darah

Pengurangan lemak tubuh

Perbaikan profil lipid


2.2.8               Pencegahan diabetes
                       1.           Pencegahan primer
            Semua aktifitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang beresiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.
                       2.           Pencegahan sekunder
            Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi, dengan demikian pasien DM yang sebelumnya tidak terdiagnossis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada koplikasi masih reversible.
                       3.           Pencegahan tersier
            Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi tsb. Usaha ini meliputi :
1.      Mencegah timbulnya komplikasi
2.      Mencegah progresi daripada komplikasi tsb supaya tidak menjadi kegagalan organ
3.      Mencegah kecatatan tubuh (Sudoyono, 2009)


           
                                   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANATOMI HISTOLOGI FISIOLOGI EMBRIOLOGI ESOFAGUS

 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1               LATAR BELAKANG Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm dan berdiameter 2 cm, yang terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung. Esofagus terletak di anterior vertebrae dan menembus hiatus diafragma tepat di anterior aorta. Esofagus terutama berfungsi menghantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung. Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus membentuk sfinter esofagus bagian atas dan terdiri atas serabut-serabut otot rangka. Bagian esofagus ini secara normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada waktu menelan. Sfingter esofagus bagian bawah, walaupun secara anatomis tidak nyata bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini menutup, kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu berdahak atau muntah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1   

soal2 UKDI

ini soal2 UKDI yg didapat dari internet, nomornya acak2 kan,, jangan terlalu fokus sama jawaban, soalnya belum di check ganbatte !!! Neoplasia 6. Seorang wanita 40 tahun, dijumpai adanya benjolan pada payudara kanan, konsistensi keras, diameter 2-5cm, batas tegas, sulit digerakkan, keluar darah dan cairan putih. Diagnosis keadaan di atas adalah A. Fibroadenoma B. Tumor pilloides C . Papiloma intraduktal D. Karsinoma invasive E. Mastitis 8. Wanita 40 tahun ada benjolan pada submandibul ar dextra. Pemeriksaan foto menunjukkan tumor parotis (kelenjar air liur) paling ganas. A. Adeno ca B. Kistadenoma C. Tumor acinic D. Karsinoma mukoepidermoid E. Mixed type sel ca 10. Wanita 40 tahun mengalami keputihan. Pada Pap Smear dijumpai sel koilosit dan Displasia sedang. Diagnosis keadaan di atas adalah A. HIV B. HBV C. HSV D. HPV 11.Seorang wanita mengeluh benjolan perut kiri. Dilakukan pemeriksaan PA, biopsi menunjukkan adanya tulang, tulang rawan