Langsung ke konten utama

REFERAT SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOUS

BAB I
PENDAHULUAN


LATAR BELAKANG
               Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patfisiologi
               Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Kata " sistemik " berarti penyakit ini dapat mempengaruhi banyak bagian tubuh.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.1    DEFINISI
Sistemic Lupus Eritematous merupaan penyakit autoimun kronis yang dapat mempengaruhi hampir semua sistem organ sehingga bisa menimbulkan kecatatan.
2.1.2    EPIDEMIOLOGI
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut kesintasan (survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%. Kesintasan 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-2002. Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.
2.1.3 ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1.      Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2.         Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
2.1.4 PATOFISIOLOGI
            Walaupun secara spesifik penyebab dari SLE tidak diketahui, tetapi banyak faktor yang dapat menyebabkan peningkatakan keparahan penyakit ini ( sebelumnya sudah di bahas di etiologi).
In systemic lupus erythematosus (SLE), many geneti39225tn.jpg
 In systemic lupus erythematosus (SLE), many genetic-susceptibility faktors, environmental triggers, antigen-antibody (Ab) responses, B-cell and T-cell interactions, and immune clearance processes interact to generate and perpetuate autoimmunity. HLA = human leukocyte antigen; UV = ultraviolet light.
2.1.5 MANIFESTASI KLINIS
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu
1.      Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2.      Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan.
3.      Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4.      Kulit: ruam kupu-kupu (buttertily atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5.      Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6.      Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7.      Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru
8.      Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9.      Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10.  Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11.  Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.


2.1.6 DIAGNOSIS KLINIS
Tabel 1.Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik


Kriteria
Batasan


Ruam malar
Eritema yang menetap, rata   atau menonjol, pada daerah malar dan

cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam discoid
Plak eritema  menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE

lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik

dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter

pemeriksa.
Artritis
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh

nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis

Pleuritis
a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc fric!on rub yang didengar oleh dokter

pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.

Atau
Perikarditis
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial fric!on rub atau terdapat

bukti efusi perikardium.
Gangguan renal
a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan

pemeriksaan kuantitatif

Atau

b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,

tubular atau campuran.
Gangguan neurologi
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic

(misalnya uremia,  ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).

Atau

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik

(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologik
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis

Atau

b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih

Atau

c. Limfopenia  <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih

Atau

d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologik
a.  Anti-DNA: antibodi terhadap na!ve DNA dengan titer yang abnormal

Atau

b.  Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm

Atau

c.  Temuan positif terhadap anbodi antifosfolipid yang didasarkan atas:

1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,

2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau

3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya

selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema

pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
Antibodi an nuklear positf
Titer  abnormal  dari  antibodi  anti-nuklear  berdasarkan  pemeriksaan
(ANA)
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu

perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan

dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.


Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring
1.      Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2.      Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin.
3.      Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, protiil lipid)ti
4.      PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5.      Serologi ANA§, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4))
6.      Foto polos thorax
§         pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
*        Setiap 3-6 bulan bila stabil
         Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien

2.17 DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:26,28
a.      Undifferentiated connective tissue disease
b.      Sindroma Sjögren
c.      Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d.     Fibromialgia (ANA positif)
e.      Purpura trombositopenik idiopatik
f.       Lupus imbas obat
g.      Vaskulitis
Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1.      Secara klinis tenang
2.      Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3.      Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1.      Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2.      Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3.      Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a.      Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b.      Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c.      Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d.     Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e.      Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f.       Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g.      Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.
2.1.8 PENGOBATAN
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III.                  Pengobatan medikamentosa
a.  OAINS
b.  Antimalaria
.      Steroid
d. Imunosupresan / Sitotoksik
e.  Terapi lain
f.       Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas tiisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 2.1
Tabel 2. 1Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE
1.Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2.Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3.Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4.Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5.Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum.
6.Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.
II. Program Rehabilitasi

Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas tiisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas llainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.

Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a.      Istirahat
b.      Terapi tiisik
c.      Terapi dengan modalitas
d.     Ortotik
e.      Lain-lain.
III. Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya, selanjutnya dapat dilihat pada tabel 2.2.
f.                     
Tabel 2.2 Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE     
Jenis Obat
Dosis
Jenis toksisitas
Evaluasi Awal
Pemantauan











Klinis
Laboratorik







OAINS
Tergantung
Perdarahan
Darah rutin,
Gejala
Darah rutin,

OAINS
saluan cerna,
kreatinin, urin
gastrointestinal
kreatinin, AST/ALT


hepatotoksik,
rutin, AST/ALT

setiap 6 bulan


sakit kepala,






hipertensi,






Aseptic






meningitis,






nefrotoksik.




Kortikosteroid
Tergantung
Cushingoid,
Gula darah,
Tekanan darah
Glukosa

derajat SLE
hipertensi,
profil lipid,





dislipidemi,
DXA, tekanan





osteonekrosis,
darah





hiperglisemia,




Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.

a.      Pengobatan SLE Ringan

Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan

-         Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

-         Obat anti in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan in lamasi.

-         Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan)

-         Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.

-         Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.

Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)

b.     Pengobatan SLE Sedang

Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.

Lihat algoritme terapi SLE.

c.      Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum di bawah ini.

Glukokortikoid Dosis Tinggi

Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1 mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut.

Obat Imunosupresan atau Sitotoksik

Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil.

Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.
Algoritma penatalaksanaan SLE dapat dilihat dibawah ini40











                                                      
























BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
























DAFTAR PUSTAKA

Bertoli AM, Alarcon GS. Epidemiology of systemic lupus erythematosus. In: Tsokos GC, Gordon C, Smolen JS. A companion to rheumatology Systemic lupus erythematosus. Philadelphia. Mosby 2007:1-18

Buyon JP. Systemic lupus erythematosus, A clinical and laboratory features. In: Klippel JH, Stone JH, Croord LJ, White PH. Editors. Primer on the rheumatic diseases. 13th ed. Atlanta: Arthritis Foundation Springer . 2008:303-307



Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. Epidemiology of systemic lupus erythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus. 2006;15(5):308-18


Data dari poli penyakit dalam RS Ciptomangunkusumo Jakarta, 2010

Data dari poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung, 2010


Ghanie A. systemic Lupus Erytematous. In: Sudoyo AW, et al, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006; p 1511 - 4.2.

Guyton&hall. 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta EGC

HanlyJG.Neuropsychiatriclupus.RheumDisClinNAm2005;1:273-297


HanlyJG.Neuropsychiatriclupus.CurrRheumatolRep2001;3:205-212

MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH. Editors. Rheumatology 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2011:1229-1246


Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta. EGC

Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Edisi II. Jakarta : FK UI

Schur P, ed. The clinical management of systemic lupus erythematosus, 2nd ed. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1996


Vasudevan AR, Ginzler EM. Clinical features of systemic lupus erythematosus. In: Hochberg

 BAB I
PENDAHULUAN


LATAR BELAKANG
               Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patfisiologi
               Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Kata " sistemik " berarti penyakit ini dapat mempengaruhi banyak bagian tubuh.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.1    DEFINISI
Sistemic Lupus Eritematous merupaan penyakit autoimun kronis yang dapat mempengaruhi hampir semua sistem organ sehingga bisa menimbulkan kecatatan.
2.1.2    EPIDEMIOLOGI
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut kesintasan (survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%. Kesintasan 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-2002. Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.
2.1.3 ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1.      Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2.         Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
2.1.4 PATOFISIOLOGI
            Walaupun secara spesifik penyebab dari SLE tidak diketahui, tetapi banyak faktor yang dapat menyebabkan peningkatakan keparahan penyakit ini ( sebelumnya sudah di bahas di etiologi).
In systemic lupus erythematosus (SLE), many geneti39225tn.jpg
 In systemic lupus erythematosus (SLE), many genetic-susceptibility faktors, environmental triggers, antigen-antibody (Ab) responses, B-cell and T-cell interactions, and immune clearance processes interact to generate and perpetuate autoimmunity. HLA = human leukocyte antigen; UV = ultraviolet light.
2.1.5 MANIFESTASI KLINIS
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu
1.      Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2.      Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan.
3.      Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4.      Kulit: ruam kupu-kupu (buttertily atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5.      Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6.      Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7.      Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru
8.      Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9.      Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10.  Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11.  Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.


2.1.6 DIAGNOSIS KLINIS
Tabel 1.Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik


Kriteria
Batasan


Ruam malar
Eritema yang menetap, rata   atau menonjol, pada daerah malar dan

cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam discoid
Plak eritema  menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE

lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik

dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter

pemeriksa.
Artritis
Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh

nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis

Pleuritis
a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc fric!on rub yang didengar oleh dokter

pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.

Atau
Perikarditis
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial fric!on rub atau terdapat

bukti efusi perikardium.
Gangguan renal
a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan

pemeriksaan kuantitatif

Atau

b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,

tubular atau campuran.
Gangguan neurologi
a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic

(misalnya uremia,  ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).

Atau

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik

(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologik
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis

Atau

b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih

Atau

c. Limfopenia  <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih

Atau

d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologik
a.  Anti-DNA: antibodi terhadap na!ve DNA dengan titer yang abnormal

Atau

b.  Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm

Atau

c.  Temuan positif terhadap anbodi antifosfolipid yang didasarkan atas:

1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,

2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau

3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya

selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema

pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
Antibodi an nuklear positf
Titer  abnormal  dari  antibodi  anti-nuklear  berdasarkan  pemeriksaan
(ANA)
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu

perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan

dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.


Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring
1.      Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2.      Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin.
3.      Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, protiil lipid)ti
4.      PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5.      Serologi ANA§, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4))
6.      Foto polos thorax
§         pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
*        Setiap 3-6 bulan bila stabil
         Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien

2.17 DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:26,28
a.      Undifferentiated connective tissue disease
b.      Sindroma Sjögren
c.      Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d.     Fibromialgia (ANA positif)
e.      Purpura trombositopenik idiopatik
f.       Lupus imbas obat
g.      Vaskulitis
Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1.      Secara klinis tenang
2.      Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3.      Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1.      Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2.      Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3.      Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a.      Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b.      Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c.      Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d.     Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e.      Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f.       Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g.      Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.
2.1.8 PENGOBATAN
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III.                  Pengobatan medikamentosa
a.  OAINS
b.  Antimalaria
.      Steroid
d. Imunosupresan / Sitotoksik
e.  Terapi lain
f.       Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas tiisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 2.1
Tabel 2. 1Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE
1.Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2.Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3.Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4.Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5.Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum.
6.Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.
II. Program Rehabilitasi

Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas tiisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas llainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.

Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a.      Istirahat
b.      Terapi tiisik
c.      Terapi dengan modalitas
d.     Ortotik
e.      Lain-lain.
III. Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya, selanjutnya dapat dilihat pada tabel 2.2.
f.                     
Tabel 2.2 Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE     
Jenis Obat
Dosis
Jenis toksisitas
Evaluasi Awal
Pemantauan











Klinis
Laboratorik







OAINS
Tergantung
Perdarahan
Darah rutin,
Gejala
Darah rutin,

OAINS
saluan cerna,
kreatinin, urin
gastrointestinal
kreatinin, AST/ALT


hepatotoksik,
rutin, AST/ALT

setiap 6 bulan


sakit kepala,






hipertensi,






Aseptic






meningitis,






nefrotoksik.




Kortikosteroid
Tergantung
Cushingoid,
Gula darah,
Tekanan darah
Glukosa

derajat SLE
hipertensi,
profil lipid,





dislipidemi,
DXA, tekanan





osteonekrosis,
darah





hiperglisemia,




Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.

a.      Pengobatan SLE Ringan

Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan

-         Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

-         Obat anti in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan in lamasi.

-         Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan)

-         Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.

-         Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.

Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)

b.     Pengobatan SLE Sedang

Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.

Lihat algoritme terapi SLE.

c.      Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum di bawah ini.

Glukokortikoid Dosis Tinggi

Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1 mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut.

Obat Imunosupresan atau Sitotoksik

Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil.

Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.
Algoritma penatalaksanaan SLE dapat dilihat dibawah ini40











                                                      
























BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
























DAFTAR PUSTAKA

Bertoli AM, Alarcon GS. Epidemiology of systemic lupus erythematosus. In: Tsokos GC, Gordon C, Smolen JS. A companion to rheumatology Systemic lupus erythematosus. Philadelphia. Mosby 2007:1-18

Buyon JP. Systemic lupus erythematosus, A clinical and laboratory features. In: Klippel JH, Stone JH, Croord LJ, White PH. Editors. Primer on the rheumatic diseases. 13th ed. Atlanta: Arthritis Foundation Springer . 2008:303-307



Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. Epidemiology of systemic lupus erythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus. 2006;15(5):308-18


Data dari poli penyakit dalam RS Ciptomangunkusumo Jakarta, 2010

Data dari poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin Bandung, 2010


Ghanie A. systemic Lupus Erytematous. In: Sudoyo AW, et al, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006; p 1511 - 4.2.

Guyton&hall. 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta EGC

HanlyJG.Neuropsychiatriclupus.RheumDisClinNAm2005;1:273-297


HanlyJG.Neuropsychiatriclupus.CurrRheumatolRep2001;3:205-212

MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH. Editors. Rheumatology 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2011:1229-1246


Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta. EGC

Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Edisi II. Jakarta : FK UI

Schur P, ed. The clinical management of systemic lupus erythematosus, 2nd ed. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1996


Vasudevan AR, Ginzler EM. Clinical features of systemic lupus erythematosus. In: Hochberg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

proposal blok 8 penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke atau cedera serebrovaskular merupakan penyakit serebrovaskular yang terjadi secara tiba –tiba dan menyebabkan kerusakan neurologis. Kerusakan neurologis tersebut dapatdisebabkan oleh adanya sumbatan total atau parsial pada satu atau lebih pembuluh darah serebral sehingga menghambat aliran darah ke otak. Hambatan tsb terjadi akibat pecahnya pembuluh darah atau penymbatan pembuluh darah oleh gumpalan atau clot. (Ikawati, 2011) Berdasarkan laporan penelitian University of Cambridge, didapatkan bahwa 20.000 orang berumur antara 41-80 tahun dalam rentang waktu 8,4 tahun, 595 mengalami stroke dengan resiko 40% lebih tinggi terkena stroke. Stroke merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia termasuk Indonesia sesudah Penyakit Jantung Koroner dan Kanker. Menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomor satu di Amerika Serikat setiap tahunnya, yang terjadi pada 750.000 orang setiap 45 menit. (Ethical Digest, 2005). Data stroke yan

ANATOMI HISTOLOGI FISIOLOGI EMBRIOLOGI ESOFAGUS

 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1               LATAR BELAKANG Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm dan berdiameter 2 cm, yang terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung. Esofagus terletak di anterior vertebrae dan menembus hiatus diafragma tepat di anterior aorta. Esofagus terutama berfungsi menghantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung. Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus membentuk sfinter esofagus bagian atas dan terdiri atas serabut-serabut otot rangka. Bagian esofagus ini secara normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada waktu menelan. Sfingter esofagus bagian bawah, walaupun secara anatomis tidak nyata bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini menutup, kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu berdahak atau muntah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1   

LAPORAN KASUS JIWA SKIZOFRENIA

I.           IDENTITAS PASIEN             Nama                                        :             Jenis Kelamin                           : Laki-laki             Umur                                        : 19 tahun Alamat                                                 :             Status Pernikahan                    : Belum Kawin Pekerjaan                                  : Tidak Bekerja             Pendidikan Terakhir                 :   SMA             Agama                                      : Islam             Suku                                         :             TMRS                                      : 23 November 2017             Tanggal Pemeriksaan               : 24 November 2017 II          RIWAYAT PSIKIATRI             Data diperoleh dari: 1.          Rekam medis                    : 2.          Autoanamnesis                  : 3.          Alloanamnesis                  : - A.        Keluhan Utama Mengamuk B.