BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patfisiologi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Kata " sistemik " berarti penyakit ini dapat mempengaruhi banyak bagian tubuh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 DEFINISI
Sistemic Lupus Eritematous
merupaan penyakit autoimun kronis yang dapat mempengaruhi hampir semua sistem
organ sehingga bisa menimbulkan kecatatan.
2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat
sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika
dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,dengan rasio jender wanita dan
laki-laki antara 9-14:1.Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291
Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi
selama tahun 2010.
Morbititas dan mortalitas pasien SLE
masih cukup tinggi. Berturut-turut kesintasan (survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah
93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%. Kesintasan 5 tahun pasien SLE di
RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari
tahun 1990-2002. Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan
dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus,
jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit
vaskular aterosklerosis.
2.1.3 ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai
saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan
dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor
predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling
dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.Berikut ini beberapa faktor
predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor
Genetik
Berbagai gen dapat berperan
dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan.
Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang
dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita
SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko
terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah
20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah
mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit
Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan
pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi
yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot
akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi
varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi
menderita SLE.
2. Faktor
Imunologi
Pada LE terdapat beberapa
kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag
yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen
kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah
dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan
sel B
Kelainan yang dapat terjadi
pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel
autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan
memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak
normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi
yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak,
idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi,
dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu
terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko
lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko
terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai
antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat
berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein
Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem
imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien
yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon
imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri
tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
2.1.4 PATOFISIOLOGI
Walaupun
secara spesifik penyebab dari SLE tidak diketahui, tetapi banyak faktor yang
dapat menyebabkan peningkatakan keparahan penyakit ini ( sebelumnya sudah di
bahas di etiologi).
In systemic lupus erythematosus (SLE), many
genetic-susceptibility faktors, environmental triggers, antigen-antibody (Ab)
responses, B-cell and T-cell interactions, and immune clearance processes
interact to generate and perpetuate autoimmunity. HLA = human leukocyte
antigen; UV = ultraviolet light.
2.1.5 MANIFESTASI KLINIS
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu
dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di
bawah ini, yaitu
1.
Wanita
muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2.
Gejala
konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan.
3.
Muskuloskeletal:
artritis, artralgia, miositis
4.
Kulit:
ruam kupu-kupu (buttertily atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5.
Ginjal:
hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6.
Gastrointestinal:
mual, muntah, nyeri abdomen
7.
Paru-paru:
pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi
parenkhim paru
8.
Jantung:
perikarditis, endokarditis, miokarditis
9.
Retikulo-endotel:
organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan
trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang,
sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati
kranial dan perifer.
2.1.6
DIAGNOSIS KLINIS
Tabel 1.Kriteria Diagnosis Lupus
Eritematosus Sistemik
|
|
Kriteria
|
Batasan
|
Ruam malar
|
Eritema yang
menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan
|
cenderung tidak melibatkan
lipat nasolabial.
|
|
Ruam discoid
|
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE
|
lanjut dapat
ditemukan parut atrofik
|
|
Fotosensitifitas
|
Ruam kulit
yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
|
dari
anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
|
|
Ulkus mulut
|
Ulkus mulut
atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
|
pemeriksa.
|
|
Artritis
|
Artritis non
erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh
|
nyeri tekan,
bengkak atau efusia.
|
|
Serositis
|
|
Pleuritis
|
a. Riwayat
nyeri pleuritik atau pleuritc fric!on
rub yang didengar oleh dokter
|
pemeriksa
atau terdapat bukti efusi pleura.
|
|
Atau
|
|
Perikarditis
|
b. Terbukti
dengan rekaman EKG atau pericardial
fric!on rub atau terdapat
|
bukti efusi
perikardium.
|
|
Gangguan
renal
|
a.
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan
|
pemeriksaan
kuantitatif
|
|
Atau
|
|
b. Silinder
seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
|
|
tubular atau
campuran.
|
|
Gangguan
neurologi
|
a. Kejang
yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic
|
(misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).
|
|
Atau
|
|
b. Psikosis
yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik
|
|
(misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
|
|
Gangguan hematologik
|
a. Anemia hemolitik dengan
retikulosis
|
Atau
|
|
b. Lekopenia <4.000/mm3
pada dua kali pemeriksaan atau lebih
|
|
Atau
|
|
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
|
|
Atau
|
|
d. Trombositopenia
<100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
|
|
Gangguan imunologik
|
a. Anti-DNA: antibodi terhadap na!ve DNA dengan titer yang abnormal
|
Atau
|
|
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm
|
|
Atau
|
|
c. Temuan positif terhadap anbodi antifosfolipid
yang didasarkan atas:
|
|
1) kadar
serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
|
|
2) Tes lupus
antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau
|
|
3) hasil tes serologi positif
palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya
|
|
selama 6
bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
|
|
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
|
|
Antibodi an
nuklear positf
|
Titer abnormal
dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
pemeriksaan
|
(ANA)
|
imunofluoresensi atau
pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
|
perjalan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
|
|
dengan sindroma lupus yang
diinduksi obat.
|
Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang
Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring
1.
Hemoglobin,
lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2.
Urin
rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3.
Kimia
darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, protiil lipid)ti
4.
PT, aPTT
pada sindroma antifosfolipid
5.
Serologi
ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6.
Foto
polos thorax
§
pemeriksaan
hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
*
Setiap
3-6 bulan bila stabil
†
Setiap
3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung
dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung
kondisi klinis pasien
2.17
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa
penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat
gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:26,28
a. Undifferentiated
connective tissue disease
b.
Sindroma
Sjögren
c.
Sindroma
antibodi antifosfolipid (APS)
d.
Fibromialgia
(ANA positif)
e.
Purpura
trombositopenik idiopatik
f.
Lupus
imbas obat
g.
Vaskulitis
Derajat
Berat Ringannya Penyakit SLE
Seringkali
terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang
akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat
yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil
berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat
keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan
atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria
untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1.
Secara
klinis tenang
2.
Tidak
terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3.
Fungsi
organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis
dan kulit.
Penyakit
SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1.
Nefritis
ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2.
Trombositopenia
(trombosit 20-50x103/mm3)
3.
Serositis
mayor
Penyakit
SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum
di bawah ini, yaitu:
a.
Jantung:
endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade
jantung, hipertensi maligna.
b.
Paru-paru:
hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru,
ibrosis interstisial, shrinking lung.
c.
Gastrointestinal:
pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d.
Ginjal:
nefritis proliferatif dan atau membranous.
e.
Kulit:
vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f.
Neurologi:
kejang, acute confusional state,
koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik,
psikosis, sindroma demielinasi.
g.
Hematologi:
anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.
2.1.8
PENGOBATAN
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
I. Edukasi dan
konseling
II. Program rehabilitasi
III.
Pengobatan medikamentosa
a. OAINS
b. Antimalaria
.
Steroid
d. Imunosupresan
/ Sitotoksik
e. Terapi
lain
f. Edukasi
/ Konseling
Pada dasarnya pasien SLE
memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar
dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan
kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas tiisik,
mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan
sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi;
melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami
infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis
atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi
organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian
obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 2.1
Tabel
2. 1Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE
1.Penjelasan tentang apa itu lupus dan
penyebabnya.
2.Tipe dari penyakit SLE dan perangai
dari masing-masing tipe tersebut.
3.Masalah yang terkait dengan fisik:
kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti
osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi
secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4.Pengenalan masalah aspek psikologis:
bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional,
trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan
itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5.Pemakaian obat mencakup jenis,
dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu tidaknya suplementasi mineral dan
vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat anti
tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum.
6.Dimana pasien dapat memperoleh
informasi tentang SLE, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam
pemasyarakatan SLE dan sebagainya.
II. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat
diberikan pada pasien dengan SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini.
Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30%
apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari
2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per
hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan
kestabilan sendi. Modalitas tiisik seperti pemberian panas atau dingin
diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme
otot. Demikian pula modalitas llainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan
manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
Secara garis
besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang
melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a.
Istirahat
b.
Terapi tiisik
c.
Terapi
dengan modalitas
d.
Ortotik
e.
Lain-lain.
III. Terapi Medikamentosa
Berikut
ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya, selanjutnya
dapat dilihat pada tabel 2.2.
f.
Tabel 2.2 Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
Jenis Obat
|
Dosis
|
Jenis toksisitas
|
Evaluasi Awal
|
Pemantauan
|
||
Klinis
|
Laboratorik
|
|||||
OAINS
|
Tergantung
|
Perdarahan
|
Darah rutin,
|
Gejala
|
Darah rutin,
|
|
OAINS
|
saluan cerna,
|
kreatinin, urin
|
gastrointestinal
|
kreatinin, AST/ALT
|
||
hepatotoksik,
|
rutin, AST/ALT
|
setiap 6 bulan
|
||||
sakit kepala,
|
||||||
hipertensi,
|
||||||
Aseptic
|
||||||
meningitis,
|
||||||
nefrotoksik.
|
||||||
Kortikosteroid
|
Tergantung
|
Cushingoid,
|
Gula darah,
|
Tekanan darah
|
Glukosa
|
|
derajat SLE
|
hipertensi,
|
profil lipid,
|
||||
dislipidemi,
|
DXA, tekanan
|
|||||
osteonekrosis,
|
darah
|
|||||
hiperglisemia,
|
Pengobatan
SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.
a. Pengobatan
SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan
dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa
hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:
Obat-obatan
-
Penghilang
nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
-
Obat anti
in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri
dan in lamasi.
-
Glukokortikoid
topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan)
-
Klorokuin
basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg
mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan
pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5-
6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
-
Kortikosteroid
dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya
topikal dengan sun protection faktor
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)
b. Pengobatan
SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE
sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang
diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol
pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison
atau yang setara.
Lihat algoritme terapi SLE.
c.
Pengobatan
SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar
pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-obatannya.
Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana
tercantum di bawah ini.
Glukokortikoid Dosis Tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1
mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan
secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg
sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut.
Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa
digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin,
mikofenolat mofetil.
Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis,
perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan
yang lebih baik.
Algoritma penatalaksanaan SLE dapat dilihat dibawah ini40
BAB
3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bertoli
AM, Alarcon GS. Epidemiology of systemic lupus erythematosus. In: Tsokos GC,
Gordon C, Smolen JS. A companion to rheumatology Systemic lupus erythematosus.
Philadelphia. Mosby 2007:1-18
Buyon JP. Systemic lupus erythematosus, A clinical and laboratory
features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH. Editors. Primer on
the rheumatic diseases. 13th ed. Atlanta: Arthritis Foundation Springer .
2008:303-307
Christie M Bartels, MD, MS Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview#a2. http://www.webmd.com/lupus/systemic-lupus-erythematosus#1-1\
Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. Epidemiology of systemic lupus
erythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus.
2006;15(5):308-18
Data
dari poli penyakit dalam RS Ciptomangunkusumo Jakarta, 2010
Data dari poliklinik reumatologi RS
Hasan Sadikin Bandung, 2010
Ghanie A. systemic Lupus Erytematous.
In: Sudoyo AW, et al, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III,
edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006; p 1511 - 4.2.
Guyton&hall.
2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta EGC
HanlyJG.Neuropsychiatriclupus.RheumDisClinNAm2005;1:273-297
HanlyJG.Neuropsychiatriclupus.CurrRheumatolRep2001;3:205-212
MC,
Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH. Editors. Rheumatology 5th
ed. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2011:1229-1246
Price, Sylvia Anderson.
2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta.
EGC
Rasad, Sjahriar. 2005.
Radiologi Diagnostik Edisi II. Jakarta : FK UI
Schur P, ed. The clinical management of systemic lupus erythematosus,
2nd ed. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1996
Vasudevan AR, Ginzler EM. Clinical features of systemic lupus
erythematosus. In: Hochberg
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patfisiologi
Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Kata " sistemik " berarti penyakit ini dapat mempengaruhi banyak bagian tubuh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 DEFINISI
Sistemic Lupus Eritematous
merupaan penyakit autoimun kronis yang dapat mempengaruhi hampir semua sistem
organ sehingga bisa menimbulkan kecatatan.
2.1.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat
sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika
dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,dengan rasio jender wanita dan
laki-laki antara 9-14:1.Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup
semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291
Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi
selama tahun 2010.
Morbititas dan mortalitas pasien SLE
masih cukup tinggi. Berturut-turut kesintasan (survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah
93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%. Kesintasan 5 tahun pasien SLE di
RSCM adalah 88% dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari
tahun 1990-2002. Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan
dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus,
jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit
vaskular aterosklerosis.
2.1.3 ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai
saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan
dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor
predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling
dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.Berikut ini beberapa faktor
predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor
Genetik
Berbagai gen dapat berperan
dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan.
Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang
dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita
SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko
terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah
20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah
mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major
Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit
Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan
pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi
yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot
akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi
varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi
menderita SLE.
2. Faktor
Imunologi
Pada LE terdapat beberapa
kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag
yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen
kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah
dari sel T.
b. Kelainan intrinsik sel T dan
sel B
Kelainan yang dapat terjadi
pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel
autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan
memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak
normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi
yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak,
idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi,
dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu
terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko
lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko
terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai
antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat
berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein
Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem
imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah.
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien
yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon
imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri
tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
2.1.4 PATOFISIOLOGI
Walaupun
secara spesifik penyebab dari SLE tidak diketahui, tetapi banyak faktor yang
dapat menyebabkan peningkatakan keparahan penyakit ini ( sebelumnya sudah di
bahas di etiologi).
In systemic lupus erythematosus (SLE), many
genetic-susceptibility faktors, environmental triggers, antigen-antibody (Ab)
responses, B-cell and T-cell interactions, and immune clearance processes
interact to generate and perpetuate autoimmunity. HLA = human leukocyte
antigen; UV = ultraviolet light.
2.1.5 MANIFESTASI KLINIS
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu
dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di
bawah ini, yaitu
1.
Wanita
muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2.
Gejala
konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan.
3.
Muskuloskeletal:
artritis, artralgia, miositis
4.
Kulit:
ruam kupu-kupu (buttertily atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5.
Ginjal:
hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6.
Gastrointestinal:
mual, muntah, nyeri abdomen
7.
Paru-paru:
pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi
parenkhim paru
8.
Jantung:
perikarditis, endokarditis, miokarditis
9.
Retikulo-endotel:
organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan
trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang,
sindroma otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati
kranial dan perifer.
2.1.6
DIAGNOSIS KLINIS
Tabel 1.Kriteria Diagnosis Lupus
Eritematosus Sistemik
|
|
Kriteria
|
Batasan
|
Ruam malar
|
Eritema yang
menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan
|
cenderung tidak melibatkan
lipat nasolabial.
|
|
Ruam discoid
|
Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE
|
lanjut dapat
ditemukan parut atrofik
|
|
Fotosensitifitas
|
Ruam kulit
yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik
|
dari
anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
|
|
Ulkus mulut
|
Ulkus mulut
atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter
|
pemeriksa.
|
|
Artritis
|
Artritis non
erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh
|
nyeri tekan,
bengkak atau efusia.
|
|
Serositis
|
|
Pleuritis
|
a. Riwayat
nyeri pleuritik atau pleuritc fric!on
rub yang didengar oleh dokter
|
pemeriksa
atau terdapat bukti efusi pleura.
|
|
Atau
|
|
Perikarditis
|
b. Terbukti
dengan rekaman EKG atau pericardial
fric!on rub atau terdapat
|
bukti efusi
perikardium.
|
|
Gangguan
renal
|
a.
Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan
|
pemeriksaan
kuantitatif
|
|
Atau
|
|
b. Silinder
seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,
|
|
tubular atau
campuran.
|
|
Gangguan
neurologi
|
a. Kejang
yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic
|
(misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).
|
|
Atau
|
|
b. Psikosis
yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik
|
|
(misalnya
uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
|
|
Gangguan hematologik
|
a. Anemia hemolitik dengan
retikulosis
|
Atau
|
|
b. Lekopenia <4.000/mm3
pada dua kali pemeriksaan atau lebih
|
|
Atau
|
|
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
|
|
Atau
|
|
d. Trombositopenia
<100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
|
|
Gangguan imunologik
|
a. Anti-DNA: antibodi terhadap na!ve DNA dengan titer yang abnormal
|
Atau
|
|
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm
|
|
Atau
|
|
c. Temuan positif terhadap anbodi antifosfolipid
yang didasarkan atas:
|
|
1) kadar
serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM,
|
|
2) Tes lupus
antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau
|
|
3) hasil tes serologi positif
palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya
|
|
selama 6
bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
|
|
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
|
|
Antibodi an
nuklear positf
|
Titer abnormal
dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
pemeriksaan
|
(ANA)
|
imunofluoresensi atau
pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
|
perjalan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
|
|
dengan sindroma lupus yang
diinduksi obat.
|
Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang
Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring
1.
Hemoglobin,
lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2.
Urin
rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3.
Kimia
darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, protiil lipid)ti
4.
PT, aPTT
pada sindroma antifosfolipid
5.
Serologi
ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6.
Foto
polos thorax
§
pemeriksaan
hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
*
Setiap
3-6 bulan bila stabil
†
Setiap
3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung
dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung
kondisi klinis pasien
2.17
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa
penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat
gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:26,28
a. Undifferentiated
connective tissue disease
b.
Sindroma
Sjögren
c.
Sindroma
antibodi antifosfolipid (APS)
d.
Fibromialgia
(ANA positif)
e.
Purpura
trombositopenik idiopatik
f.
Lupus
imbas obat
g.
Vaskulitis
Derajat
Berat Ringannya Penyakit SLE
Seringkali
terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE, terutama menyangkut obat yang
akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat
yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil
berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat
keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan
atau berat sampai mengancam nyawa.
Kriteria
untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1.
Secara
klinis tenang
2.
Tidak
terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3.
Fungsi
organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis
dan kulit.
Penyakit
SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
1.
Nefritis
ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2.
Trombositopenia
(trombosit 20-50x103/mm3)
3.
Serositis
mayor
Penyakit
SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum
di bawah ini, yaitu:
a.
Jantung:
endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade
jantung, hipertensi maligna.
b.
Paru-paru:
hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru,
ibrosis interstisial, shrinking lung.
c.
Gastrointestinal:
pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d.
Ginjal:
nefritis proliferatif dan atau membranous.
e.
Kulit:
vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f.
Neurologi:
kejang, acute confusional state,
koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik,
psikosis, sindroma demielinasi.
g.
Hematologi:
anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.
2.1.8
PENGOBATAN
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
I. Edukasi dan
konseling
II. Program rehabilitasi
III.
Pengobatan medikamentosa
a. OAINS
b. Antimalaria
.
Steroid
d. Imunosupresan
/ Sitotoksik
e. Terapi
lain
f. Edukasi
/ Konseling
Pada dasarnya pasien SLE
memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar
dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan
kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas tiisik,
mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan
sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi;
melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami
infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis
atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi
organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian
obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 2.1
Tabel
2. 1Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE
1.Penjelasan tentang apa itu lupus dan
penyebabnya.
2.Tipe dari penyakit SLE dan perangai
dari masing-masing tipe tersebut.
3.Masalah yang terkait dengan fisik:
kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti
osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi
secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4.Pengenalan masalah aspek psikologis:
bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional,
trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan
itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5.Pemakaian obat mencakup jenis,
dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu tidaknya suplementasi mineral dan
vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat anti
tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum.
6.Dimana pasien dapat memperoleh
informasi tentang SLE, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam
pemasyarakatan SLE dan sebagainya.
II. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat
diberikan pada pasien dengan SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini.
Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30%
apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari
2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per
hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan
kestabilan sendi. Modalitas tiisik seperti pemberian panas atau dingin
diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme
otot. Demikian pula modalitas llainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan
manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
Secara garis
besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang
melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a.
Istirahat
b.
Terapi tiisik
c.
Terapi
dengan modalitas
d.
Ortotik
e.
Lain-lain.
III. Terapi Medikamentosa
Berikut
ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya, selanjutnya
dapat dilihat pada tabel 2.2.
f.
Tabel 2.2 Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
Jenis Obat
|
Dosis
|
Jenis toksisitas
|
Evaluasi Awal
|
Pemantauan
|
||
Klinis
|
Laboratorik
|
|||||
OAINS
|
Tergantung
|
Perdarahan
|
Darah rutin,
|
Gejala
|
Darah rutin,
|
|
OAINS
|
saluan cerna,
|
kreatinin, urin
|
gastrointestinal
|
kreatinin, AST/ALT
|
||
hepatotoksik,
|
rutin, AST/ALT
|
setiap 6 bulan
|
||||
sakit kepala,
|
||||||
hipertensi,
|
||||||
Aseptic
|
||||||
meningitis,
|
||||||
nefrotoksik.
|
||||||
Kortikosteroid
|
Tergantung
|
Cushingoid,
|
Gula darah,
|
Tekanan darah
|
Glukosa
|
|
derajat SLE
|
hipertensi,
|
profil lipid,
|
||||
dislipidemi,
|
DXA, tekanan
|
|||||
osteonekrosis,
|
darah
|
|||||
hiperglisemia,
|
Pengobatan
SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.
a. Pengobatan
SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan
dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa
hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:
Obat-obatan
-
Penghilang
nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
-
Obat anti
in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri
dan in lamasi.
-
Glukokortikoid
topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan)
-
Klorokuin
basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg
mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan
pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5-
6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
-
Kortikosteroid
dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya
topikal dengan sun protection faktor
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)
b. Pengobatan
SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE
sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang
diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol
pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison
atau yang setara.
Lihat algoritme terapi SLE.
c.
Pengobatan
SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar
pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-obatannya.
Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana
tercantum di bawah ini.
Glukokortikoid Dosis Tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1
mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan
secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intra vena 500 mg
sampai 1 g / hari selama 3 hari bertutut-turut.
Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa
digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin,
mikofenolat mofetil.
Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis,
perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan
yang lebih baik.
Algoritma penatalaksanaan SLE dapat dilihat dibawah ini40
BAB
3
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bertoli
AM, Alarcon GS. Epidemiology of systemic lupus erythematosus. In: Tsokos GC,
Gordon C, Smolen JS. A companion to rheumatology Systemic lupus erythematosus.
Philadelphia. Mosby 2007:1-18
Buyon JP. Systemic lupus erythematosus, A clinical and laboratory
features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH. Editors. Primer on
the rheumatic diseases. 13th ed. Atlanta: Arthritis Foundation Springer .
2008:303-307
Christie M Bartels, MD, MS Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview#a2. http://www.webmd.com/lupus/systemic-lupus-erythematosus#1-1\
Danchenko N, Satia JA, Anthony MS. Epidemiology of systemic lupus
erythematosus: a comparison of worldwide disease burden. Lupus.
2006;15(5):308-18
Data
dari poli penyakit dalam RS Ciptomangunkusumo Jakarta, 2010
Data dari poliklinik reumatologi RS
Hasan Sadikin Bandung, 2010
Ghanie A. systemic Lupus Erytematous.
In: Sudoyo AW, et al, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III,
edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006; p 1511 - 4.2.
Guyton&hall.
2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta EGC
HanlyJG.Neuropsychiatriclupus.RheumDisClinNAm2005;1:273-297
HanlyJG.Neuropsychiatriclupus.CurrRheumatolRep2001;3:205-212
MC,
Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH. Editors. Rheumatology 5th
ed. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2011:1229-1246
Price, Sylvia Anderson.
2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta.
EGC
Rasad, Sjahriar. 2005.
Radiologi Diagnostik Edisi II. Jakarta : FK UI
Schur P, ed. The clinical management of systemic lupus erythematosus,
2nd ed. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1996
Vasudevan AR, Ginzler EM. Clinical features of systemic lupus
erythematosus. In: Hochberg
Komentar
Posting Komentar