Langsung ke konten utama

TRAUMA UROGENITAL

BAB 1PENDAHULUAN 1.1              LATAR BELAKANG
Sistem urogenitalia atau genitourinaria terdiri atas sistem organ reproduksi dan urinaria. Sistem urinaria atau disebut juga dengan system ekskretori adalah sistem organ yang memproduksi, menyimpan dan mengalirkan urin. Pada manusia normal, organ ini terdiri dari ginjal beserta sistem pelvikalises, ureter, buli-buli dan uretra.Cedera pada sistem urogenitalia sebagian besar bukan termasuk cedera yang mengancam nyawa, kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal yang cukup luas dan kerusakan atau putusnya pembuluh darah ginjal.Cedera yang mengenai organ genitalia bisa merupakan cedera dari luar berupa trauma tumpul maupun trauma tajam, cedera iatrogenik akibat tindakan dokter pada saat operasi atau petugas medic yang lain. Pada trauma tajam, baik berupa trauma tusuk maupun trauma tembus oleh peluru, harus dipikirikan untuk kemungkinan melakukan eksplorasi; sedangkan trauma tumpul sebagian besar hampir tidak diperlukan tindakan operasi.     BAB IIISI  2.1       TRAUMA GINJAL            Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindungi oleh otot punggung di sebelah posterior dan oleh organ intraperitoneal di sebelah anteriornya; karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ yang mengitarinya.2.1.1    EpidemiologiTrauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada sistem urogenitalia, dengan presentase 10% dari trauma abdomen yang mencederai ginjal.2.1.2    EtiologiJenis cedera yang mengenai ginjal merupakan cedera tumpul, luka tusuk atau luka tembak.2.1.3    Patogenesis            Cedera ginjal dapat terjadi secara1.      Langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang
2.      Tidak langsung, yaitu cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal yang secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitoneum.
            Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan pada tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan thrombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal atau tumor ginjal.2.1.4        Derajat trauma ginjal
                        Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan menjadi:1.      Cedera minor
2.      Cedera mayor
3.      Cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal
            Menurut skala cedera organ, cedera ginjal dibagi manjadi :Tabel 2.1 Derajat Trauma ginjal menurut skala cedera organ
Derajat
Jenis Kerusakan
I
Kontusio ginjal / Hematoma perirenal
II
Laserasi ginjal terbatas pada korteks
III
Laserasi ginjal  sampai pada medulla ginjal, mungkin terdapat thrombosis arteri segmentalis
IV
Laserasi sampai mengenai sistem kalises ginjal
V
Avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi thrombosis arteria renalis
kidney-grade-4Ginjal terbelah (shatered)
kidney-grade-4kidney-grade-3kidney-grade-2kidney-grade-1                                                 
    Gambar 2.1 Klasifikasi trauma ginjal (dari kiri ke kanan) 2.1.5        Diagnosis
Dicurigai adanya trauma ginjal jika terdapat :1.      Trauma di daerah pinggang, dada sebelah bawah dan perut bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah tsb.
2.      Hematuria
3.      Fraktur costa sebelah bawah(T8-T12) atau fraktur proc. Spinosus vertebra
4.      Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
5.      Cedera deselerasi yang berat akibat jantuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas
            Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis dan terdapat hematuria makroskopik ataupun mikroskopis. Pada trauma mayor atau ruptur pedikel seringkali pasien datang dalam keadaan syok berat dan terdapat hematoma di daerah pinggang yang makin lama makin membesar.2.1.6        Pemeriksaan
Jenis pemeriksaan tergantung keadaan klinis dan fasilitas yang dimiliki oleh Rumah Sakit   1.      IVU
Digunakan untuk menilai tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal kontralateral. Pembuatan IVU dikerjakan jika diduga ada:a.       Luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal
b.      Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik
c.       Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria mikroskopik yang diserta dengan syok
2.      CT Scan
JIka IVU belum bisa menjelaskan keadaan ginjal (misalkan pada ginjal non visualized), perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau arteriografi3.      USG Abdomen
Pemeriksaan ini diharapkan dapat menemukan adanya kontusio parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler serta memperlihatkan adanya robekan pada kapsul ginjal. Pemeriksaan ini dikerjakan jika ada dugaan cedera tumpul pada ginjal yang menunjukkan tanda hematuria mikroskopik tanpa disertai syok   2.1.7        Tatalaksana
1)      Konservatif
Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini dilakukan observasi tanda vital (tensi, nadi dan suhu tubuh), kemungkinan adanya penambahan masa di pinggang, adanya pembesaran di lingkaran perut, penurunan kadar hemoglobin darah dan perubahan warna urine.2)      Operasi
Ditujukan untuk trauma ginjal mayor dengan tujuan menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin dilakukan debridement, reparasi ginjal (berupa renorafi atau penyambungan vaskuler) atau tidak jarang dilakukan nefrektomi parsial atau total karena kerusakan ginjal yang sangat berat.2.2              TRAUMA URETER
2.2.1        Epidemiologi
            Trauma ureter sangat jarang dijumpai dan merupakan 1% dari seluruh cedera urogenital.2.2.2        Etiologi
            Cedera ini dapat terjadi karena trauma dari luar, yaitu trauma tumpul maupun tajam atau trauma iatrogenik. Operasi endourologi transureter dan operasi di daerah pelvis (diantaranya adalah operasi ginekologi, bedah digestive atau vaskuler) dapat menyebabkan terjadinya cedera ureter iatrogenik.
2.2.3        Diagnosis
            Kecurigaan adanya cedera ureter pada trauma dari luar adalah adanya hematuria pasca trauma, sedangkan kecurigaan adanya cedera ureter iatrogenik bisa ditemukan pada saat operasi atau setelah pembedahan.Tabel 2.2.1 Kecurigaan ureter iatrogenik
Saat operasi
Pasca operasi
Lapangan operasi banyak cairan
Demam
Hematuria
Ileus
Anuria/ oliguria jika cedera bilateral
Nyeri pinggang akibat obstruksi

Luka operasi selalu basah

Sampai beberapa hari cairan drainase jernih dan banyak

Hematuria persisten dan hematoma/urinoma di abdomen

Fistulaureterokutan/fistula ureterovagina
 2.2.4        Pemeriksaan
            Pada pemeriksaan IVU tampak ekstravasasi kontras atau kontras berhenti di daerah lesi atau terdapat deviasi ureter ke lateral karena hematoma atau urinoma. Pada cedera yang lama mungkin didapatkan hidro-ureteronefrosis sampai pada daerah sumbatan. Cedera ureter dari luar seringkali ditemukan pada saat melakukan eksplorasi laparotomi dari suatu cedera organ itraabdominal sehingga seringkali tidak mungkin melakukan pemeriksaan pencitraan terlebih dahulu.2.2.5        Tatalaksana
1).  Ureter saling sambung (anastomosis end to end). Teknik ini dipilih jika kedua ujung distal dan proksimal dapat didekatkan tanpa tegangan (tension)2).  Inplantasi ureter ke buli-buli. Cedera ureter distal yang tidak memungkinkan untuk dilakukan anastomosis end to end atau implantasi ureter ke buli-buli disebabkan tidak cukup bagian ureter distal, bagian ureter distal dapat diganti dengan bagian buli-buli yang dbentuk suatu tabung mirip ureter3). Uretero-kutaneostomi4). Transuretero-ureterotomi (menyambung ureter dengan ureter yang lainnya5). Nefrostomi sebagai tindakan diversi atau nefrektomi2.3       TRAUMA BULI-BULI            Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun semakin bertambahnya usia, tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum pelvis, sehingga kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang terjadi.
 2.3.1    Epidemiologi            Angka kejadian trauma pada buli-buli pada beberapa klinis urologi kurang lebih 2% dari seluruh trauma pada sistem urogenital.2.3.2    Etiologi            Kurang lebih 90% trauma tumpul buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli-buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvikdan diafragma pelvis sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia bergerak pada arah berlawanan (seperti pada fraktur pelvik), dapat merobek buli-buli.
            Robeknya buli-buli karena fraktur pelvis bisa pula terjadi akibat fragmen tulang pelvis merobek dindingnya. Dalam keadaan penuh terisi urin, buli-buli mudah sekali robek jika mendapatkan tekana dari luar berupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan robek pada daerah fundus dan menyebabkan ekstravasasi urin ke dalam rongga intraperitoneum.            Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenik antara lain pada reseksi buli-buli transurethral (TUR buli-buli) atau pada litotripsi. Demikian pula pada tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada buli-buli. Ruptur buli-buli dapat pula terjadi secara spontan, terjadi jika sebeelumnya terdapat kelainan pada dinding buli-buli.2.3.3    Klasifikasi            Secara klinis, cedera buli-buli dibedakan menjadi1.      Kontusio buli-buli
Ditemukan memar pada dinding buli-buli, bisa didaptkan hematoma perivesikal, tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urine ke luar buli-buli.2.      Cedera buli ekstraperitoneal
Merupakan 45-60% dari seluruh trauma buli-buli3.      Cedera intraperitoneal
Merupakan 25-45% dari seluruh trauma buli-buli, kadang-kadang bisa disertai dengan cedera ekstraperitoneal (2-12%).            2.3.4    Diagnosis            Pasien mengeluhkan nyeri di daerah suprasimfisis, miksi bercampur darah atau mungkin pasien tidak dapat miksi. Gambaran klinis yang lain tergantung pada etiologi trauma, bagian buli-buli yang mengalami cedera yaitu intra/ekstraperitoneal, adanya organ lain yang mengalamo cedera, serta penyulit yang terjadi akibat trauma.            Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi, yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli sebanyak 300-400 ml secara gravitasi(tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram. Kemudian dibuat foto yaitu,1.      Foto saat buli-buli terisi kontras dalam posisi AP
2.      Pada posisi oblik
3.      Wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli, terlihat ekstravasasi kontras di dalam rongga perivesikal yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang berada di sela-sela usus berarti ada robekan intraperitoneal.
2.3.5    Terapi            Tergantung kepada jenis cedera, di antaranya adalah:1.      Kontusio buli-buli
Cukup dilakukan pemasangan kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada buli-buli. Dengan cara ini diharapkan buli-buli dapat sembuh 7-10 hari2.      Cedera intraperitoneal
Dilakukan eksplorasi laparotomi untuk mencari robekan pada buli-buli serta kemungkinan cedera pada organ lain. Jika tidak dilakukan, ekstravasasi urine ke rongga peritoneum dapat menyebabkan peritonitis.
3.      Cedera Ekstraperitoneal
Robekan yang sederhana (ekstravasasi minimal) dianjurkan untuk memasang kateter selama 7-10 hari, tetapi sebagian ahli menganjurkan untuk melakukan penjahitan buli-buli dengan pemasangan kateter sistostomi.            Untuk memastikan bahwa buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi guna melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urin. Sistografi dibuat pada ari ke 10-14 pasca trauma. Jika masih ada, kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.2.4       TRAUMA URETRA
            Secara klinis, trauma uretra dibedakan menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior2.4.1        Epidemiologi
           Trauma tumpul tulang pelvis penyebab trauma uretra paling banyak dengan presentase 90% sedangkan sisanya karena trauma tajam. Pada laki-laki,  insiden trauma uretra adalah 1-25%, sedangkan pada wanita ruptur uretra akibat trauma pelvis sekitar 4-6%.
            2.4.2    Etiologi            Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksterna) dan cedera iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan rupture utetra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan menyebabkan rupture uretra pars bulbosa            2.4.3    Gambaran Klinis            Kecurigaan adanya trauma uretra adalah jika didapatkan perdarahan per-uretram, yaitu darah yang keluar dari meatus uretra eksternum setelah mengalami trauma. Perdarahan per-uretram ini harus dibedakan dengan hematuria yaitu urin bercampur darah. Pada trauma uretra yang berat, seringkali pasien mengalami retensi urin. Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter, karena tindakan pemasangan kateter dapat menyebabkan kerusakan uretra yang lebih parah. Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras melalui uretra, guna mengetahui adanya rupture uretra.1.      Ruptura uretra posterior      paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simpisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostate-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentumpubo-prostatikum ikut terobek, prostat beserta buli-buli akan terangkat ke cranial.A.    Klasifikasi
            Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum membagi derajat cedera uretra dalam 3 jenis :1.      Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan). Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi dan uretra hanya tampak memanjang
2.      Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis
3.      Uretra posterior, diafragma urogenitalis dan uretra pars bulosa sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas hingga di bawah diafragma urogenitalia sampai ke perineum
B.     Diagnosis
            Pasien yang menderita cedera uretra posterior seringkali dating dalam keadaan syok karena terdapat fraktur pelvis/cedera organ lain yang menimbulkan banyak perdarahan. Ruptura uretra posterior seringkali memberikan gambaran yang khas berupa:1.                  Perdarahan per-uretram
2.                  Retensi urin
3.                  Pada pemeriksaan colok dubur didapatkan adanya floating prostate (prostat melayang) di dalam suatu hematom. Pada pemeriksaan uretrografi retrograde didapatkan elongasi uretra atau ekstravasasi kontras pada pars prostate membranasea.
C.     Tindakan
Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain (abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan. Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi untuk diversi urin. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi primary endoscopic realigmenty yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui tuntutan uretrskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca rupture dan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari. Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra (uretroplasti) setelah 3 bulan pasca trauma dengan asumsi bahwa jaringan pasrut pada uretra telah stabil dan matang sehingga tindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.
2.      Ruptura Uretra Anterior
Cedera dari luar yang sering menyebabkan uretra anterior adalah straddle injury (cedera selangkangan), yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan berada tumpul. Jenis kerusakan uretra yang terjadi berupa : kontusio dinding uretra, rupture parsial atau rupture dinding uretra.
A.    Patologi
Uretra anterior terbungkus di dalam korpus spongiosum penis. Korpus spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia buck dan fasia colles. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia buck dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia colles sehingga darah dapat menjalar hingga skrotu atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu, robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma
B.     Diagnosis
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini pasien tidak dapat miksi. Pada pemeriksaan uretrografi retrograde pada kontusio uretra tidak menunjukkan adanya ekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa.C.     Tindakan
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini dapat menimbulkan penyulit striktura uretra di kemudian hari, maka setelah 4-6 bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada rupture uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran urin. Kateter sistostomi dipertahankan sampai 2 minggu, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktura uretra. Namun jika timbul sriktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.2.5              TRAUMA PENIS
            Trauma yang mencederai penis dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam, terkena mesin pabrik, rupture tunika albuguinea atau strangulasi penis. Pada trauma tumpul atau terkena mesin, jika tidak terjadi amputasi total, penis cukup dibersihkan dan dilakukan penjahitan primer. Jika terjadi amputasi penis total dan bagian distal dapat diidentifikasi, dianjurkan dicuci dengan larutam garam fisiologis kemudian disimpan di dalam kantung es dan dikirim ke pusat rujukan. Jika masih mungkin dilakukan replantasi (penyambungan) secara mikroskopik.2.5.1        Fraktur penis
Adalah ruptura  tunika albuginea korpus kavernosum penis yang terjadi pada saat penis dalam keadaan ereksi. Ruptura ini dapat disebabkan karena dibengkokkan sendiri oleh pasien pada saat masturbasi, dibengkokkan oleh pasangannya atau tertekuk secara tidak sengaja pada saat berhubungan seksual. Akibat tertekuk ini, penis menjadi bengkok dan timbul hematoma pada penis dengan disertai nyeri. Untuk mengetahui letak ruptura, pasien perlu menjalani pemeriksaan foto kavernosografi yaitu memasukkan kontras ke dalam korpus kavernosum dan kemudian diperhatikan adanya ekstraasasi kontras keluar dari tunika albuginea.            Tindakan yang dilakukan adalah eksplorasi ruptura dengan sayatan sirkumsisi, kemudian dilakukan evakuasi hematoma. Selanjutnya dilakuakan penjahitan pada robekan tunika albuginea. Robekan yang cukup lebar jika tidak dilakukakn evakuasi hematom dan penjahitan, dapat menyebabkan terbentuknya jaringan ikat pada tunika yang menimbulkan perasaan nyeri pada penis dan bengkok sewaktu ereksi. 2.5.2        Strangulasi penis
Adalah jeratan pada pangkal penis yang menyebabkan gangguan aliran darah pada penis. Gangguan aliran darah ini mengakibatkan penis menjadi iskemia dan edema yang jika dibiarkan akan menjadi nekrosis. Jeratan ini dapat terjadi pada orang dewasa maupun anak. Pada orang dewasa penjeratannya berupa logam, tutup botol atau karet yang biasanya dipasang pada batang penis untuk memperlama ereksi. Pada anak kecil biasanya jeratan pada penis dipasang oleh ibunya untuk mencegah ngompol (enuresis) atau bahkan secara tidak sengaja terjadi pada bayi yang terjerat tali popok atau rambut ibunya. Jeratan pada penis harus segera ditanggulangi dengan melepaskan cincin atau penjerat yang melingkar pada penis.
            Karena edema yang begitu hebat, jeratan oleh cincin logam sulit untuk dilepaskan. Beberapa cara untuk melepaskan cincin yang menjerat batang penis adalah1).        Memotong logam itu dengan gerinda atau gergaji listrik, tetapi dalam hal ini energi panas yang ditimbulkan dapat merusak jaringan penis2).        Melingkarkan tali pada penis pada sebelah distal logam dan kemudian melepaskannya perlahan-lahan3).        Melakukan insisi pada penis yang telah mengalami edema dengan tujuan membuang cairan (edema) sehingga logam dapatdikeluarkan            2.5.3    Trauma Genitalia Eksterna            A.        Avulsi            Kehilangan sebagian atau seluruh dinding skrotum. Biasanya terjadi pada pekerja pabrik atau petani yang mempergunakan mesin pengolah ladang. Celana dan kulit skrotum atau kulit penis terjerat pada mesin yang sedang berputar. Tindakan pertolongan pertama adalah memberikan analgetik, sedative serta tranquiliser untuk menenangkan pasien. Kemudian dilakukan pencucian luka dari debris dan rambut yang menempel dengan melakukan irigasi memakai air bersih dan kalau tersedia dengan garam fisiologis.
            Jika kulit skrotum yang tersisa tidak cukup untuk membungkus testis, dianjurkan membuat kantong dip aha atau di inguinal guna meletakkan testis. Kantong di inguinal lebih mudah membuatnya daripada kantong dip aha, akan tetap karena suhunya sama dengan suhu didalam rongga abdomen, testis yang diletakkan di inguinal seringkali mengalami gangguan dalam proses spermatogenesis. Karena itu pada pasien yang masih muda, sebaiknya testis diletakkan pada kantong yang dibuat dip aha.   BAB 3PENUTUP  Sistem urogenitalia atau genitourinaria terdiri atas sistem organ reproduksi dan urinaria. Cedera pada sistem urogenitalia sebagian besar bukan termasuk cedera yang mengancam nyawa.Trauma ginjal adalah trauma tersering dalam sistem genitourinaria, sedangkan trauma ureter adalah trauma yang paling jarang dijumpai. Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan untuk menentukan jenis trauma, mencari sebab dan perencanaan terapi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

proposal blok 8 penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke atau cedera serebrovaskular merupakan penyakit serebrovaskular yang terjadi secara tiba –tiba dan menyebabkan kerusakan neurologis. Kerusakan neurologis tersebut dapatdisebabkan oleh adanya sumbatan total atau parsial pada satu atau lebih pembuluh darah serebral sehingga menghambat aliran darah ke otak. Hambatan tsb terjadi akibat pecahnya pembuluh darah atau penymbatan pembuluh darah oleh gumpalan atau clot. (Ikawati, 2011) Berdasarkan laporan penelitian University of Cambridge, didapatkan bahwa 20.000 orang berumur antara 41-80 tahun dalam rentang waktu 8,4 tahun, 595 mengalami stroke dengan resiko 40% lebih tinggi terkena stroke. Stroke merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia termasuk Indonesia sesudah Penyakit Jantung Koroner dan Kanker. Menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomor satu di Amerika Serikat setiap tahunnya, yang terjadi pada 750.000 orang setiap 45 menit. (Ethical Digest, 2005). Data stroke yan

ANATOMI HISTOLOGI FISIOLOGI EMBRIOLOGI ESOFAGUS

 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1               LATAR BELAKANG Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm dan berdiameter 2 cm, yang terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung. Esofagus terletak di anterior vertebrae dan menembus hiatus diafragma tepat di anterior aorta. Esofagus terutama berfungsi menghantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung. Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus membentuk sfinter esofagus bagian atas dan terdiri atas serabut-serabut otot rangka. Bagian esofagus ini secara normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada waktu menelan. Sfingter esofagus bagian bawah, walaupun secara anatomis tidak nyata bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini menutup, kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu berdahak atau muntah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1   

LAPORAN KASUS JIWA SKIZOFRENIA

I.           IDENTITAS PASIEN             Nama                                        :             Jenis Kelamin                           : Laki-laki             Umur                                        : 19 tahun Alamat                                                 :             Status Pernikahan                    : Belum Kawin Pekerjaan                                  : Tidak Bekerja             Pendidikan Terakhir                 :   SMA             Agama                                      : Islam             Suku                                         :             TMRS                                      : 23 November 2017             Tanggal Pemeriksaan               : 24 November 2017 II          RIWAYAT PSIKIATRI             Data diperoleh dari: 1.          Rekam medis                    : 2.          Autoanamnesis                  : 3.          Alloanamnesis                  : - A.        Keluhan Utama Mengamuk B.