Langsung ke konten utama

GENERAL ANESTESI

DAFTAR ISI


DAFTAR ISI.................................................................................................. v


2.2     Anamnesis...................................................................................... 2
2.3     Pemeriksaan fisik........................................................................... 3
2.4     Pemeriksaan penunjang.................................................................. 5
2.5     Rencana Tindakan Operasi............................................................ 9
2.6     Laporan Anestesi........................................................................... 9
2.7     Post Operasi .................................................................................. 9
2.8     Prognosis........................................................................................ 10

BAB 3. Tinjauan Pustaka................................................................................ 11
3.1     Praanestesi...................................................................................... 11
3.2     Klasifikasi ASA............................................................................. 14
3.3     Premedikasi.................................................................................... 15
3.4     Induksi dan Rumatan Anestesi...................................................... 15

BAB 4. PENUTUP........................................................................................... 22











BAB 1
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Anestesia berarti hilangnya segala sensasi perasaan panas, dingin, rabaan, kedudukan tubuh (posture), nyeri dan biasanya dihubungkan dengan orang yang hilang kesadarannya (Wargahadibrata, 2011).  Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).
Pada hakikatnya ilmu anestesi mencakup bidang penatalaksanaan yang bertujuan agar pasien tidak merasa nyeri dan stress ketika dilakukan pembedahan serta prosedur medis tertentu, bantuan terhadap fungsi kehidupan akibat stress anesthesia dan manipulasi bedah, tatalaksana klinis pasien tidak sadar, tatalaksana resusitasi jantung paru otak (RJPO), tatalaksana terapi pernapasan dan tatalaksana klinis berbagai gangguan cairan, elektrolit dan metabolisme.
Anestesia umum apabila kesadaran hilang diikuti oleh kehilangan semua sensasi. Anestesia lokal atau regional apabila anestesi didapat hanya meliputi bagian tubuh yang dipersarafi oleh urat syarat tsb.






BAB 2
STATUS PASIEN

2.1.   Identitas Pasien
Nama                  :  Ny.N
Umur                  :  53 tahun
No MR               :  083611
Alamat               :  Dewantara
Tanggal Masuk   :  19 Januari 2017
Tanggal Operasi : 24 Januari 2017
Pukul                  :  16.00 WIB

2.2       Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan Nyeri seluruh lapangan perut
Keluhan Tambahan
Hal ini dialami pasien ± sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya nyeri dirasakan di daerah perut kanan atas, diikuti oleh nyeri seluruh lapangan perut dan menetap. Mual dan muntah dijumpai dan pasien mengaku tidak ada flatus dan BAB. Sebelumnya pasien sudah berobat ke ****** didiagnosis dengan GB Stone dan sudah dilakukan operasi pada tanggal 9 Januari 2017.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri pada seluruh lapangan perut yang tidak berkurang
Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada riwayat nyeri pada perut sebelumnya
Riwayat  BAB dan flatus yang jarang sebelumnya tidak ada
Riwayat Keluarga
Riwayat nyari perut terus menerus tidak ada
Riwayat lingkungan
Pasien tinggal bersama anak dan suami
2.3       Pemeriksaan Fisik
Status generalis
-          Keadaan Umum
o   Kesan sakit                 : Tampak sakit sedang
o   Kesadaran                  : compos mentis E4M6V5
-          Tanda vital
o   Tekanan darah            : 110/70 mmHg
o   Nadi                           : 78 x / menit
o   Pernafasan                  : 28 x / menit
o   Suhu                           : 37°C
-          Status generalis
o   Kepala
§  Normocefali
§  Rambut hitam dan tidak mudah dicabut
o   Mata
§  Oedema palpebra -/-, ptosis -/-
§  Conjunctiva Anemis +/+
§  Sklera ikterik -/-
o   Telinga
§  Bentuk Normal
§  Liang telinga lapang +/+
§  Membran timpani intak +/+
§  Nyeri tekan tragus -/-
§  Pendengaran normal
o   Hidung
§  Deformitas (–)
§  Sputum tidak ada, simetris
§  Mukosa hidung tidak hiperemis
o   Mulut
§  Faring tidak hiperemis
§  Tidak ada pembesaran tonsil (T1/T1)
o   Leher
§  Pembesaran KGB (-)
§  Tiroid tidak teraba membesar
o   Thorax
Paru-paru
§   Inspeksi         : Normochest, dinding dada simetris baik statis maupun dinamis, retraksi dan penggunaan otot bantu nafas tidak ada
§   Palpasi           : gerakan dinding dada simetris, vocal fremitus simetris kanan dan kiri
§   Perkusi           : sonor kedua lapangan paru
§   Auskultasi     : vesikuler +/+, suara nafas tambahan -/-
 Jantung
§  Inspeksi           : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
§  Palpasi             : iktus kordis sulit teraba
§  Perkusi            : dalam batas normal
§  Auskultasi       : S1 dan S2 normal, regular, murmur (-)
o    Abdomen
§  Inspeksi           : sikatrik (-)
§  Auskultasi       : Bising usus meingkat
§  Palpasi             : Nyeri tekan abdomen (+), defans (+),
§  Perkusi            : Pembesaran organ (-)
o    Ekstremitas atas
§  Akral hangat +/+
§  Oedema -/-
o   Ekstremitas Bawah
§  Akral hangat +/+
§  Oedema -/-
2.4    Pemeriksaan Penunjang
(20 Januari 2017 Pukul 11:56 WIB )
Darah Lengkap
Darah
Hasil Pemeriksaan
Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin
11,5 g/dl
12 – 16 g/dl
Eritrosit
4,73
38000-58000
Hematokrit
37,5 %
37 – 47%
Leukosit
7.590
4000-11.000
Trombosit
443.000
150.000 – 450.000
Glukosa darah sewaktu
70 mg/dl
110 – 200 mg/dl
Bilirubin Total
0,50 mg/dl
0,1-1,2
Bilirubin direct
0,20 mg/dl
0,0-0,3
SGOT
33 IU/L
15-37
SGPT
21 IU/L
10-40
Alkali Fosfatase
50 IU/L
31-97
Ureum
32,4 mg/dl
20-40
Kreatinin
0,49 mg/dl
0,6-1
Asam Urat
5,4 mg/dl
<6,8
Warna Urin
Kuning

Kejernihan
Jernih

Bau
Khas

Berat Jenis
1.010

pH
6.0


Darah Rutin Tanggal 23 Januari 2017
Darah
Hasil Pemeriksaan
Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin
11,5 g/dl
12 – 16 g/dl
Eritrosit
5,08
38000-58000
Hematokrit
39,1 %
37 – 47%
Leukosit
9.860
4000-11.000
Trombosit
480.000
150.000 – 450.000
Glukosa darah sewaktu
134 mg/dl
110 – 200 mg/dl
Masa Perdarahan/BT
2
1-3 menit
Masa Pembekuan/CT
8
9-15 menit
Golongan Darah
A


Foto Toraks
                          
                    










Foto  Abdomen 3 Posisi                       
       







              
2.5       Rencana Tindakan Operasi
Diagnosa Pre-Operasi :  Ileus Obstruksi ec Susp. Malignansi
Tindakan                     :  Explorasi Laparotomy (Cito) s/d kemungkinan Colostomi
PS ASA                      : 2 (Pasien dengan penyakit sistemik ringan)
Jenis Anestesi              :  GA
Teknik Anestesi          : TIVA + Intubasi
Posisi                           :  Supine

2.6    Laporan Anestesi
Nama Pasien               : Ny.N
Anestesiologist            : dr.Kurnian, Sp.An
Operator                      : dr. M. Sayuti,Sp.B (K) BD]
Jenis Anestesi              : General Anestesi
Diagnosa Pra bedah    :Ileus Obstruksi ec susp malignansi
Tindakan Pembedahan: Esplorasi Laparotomi s/d colostomy

Pemeriksaan Fisik di Ruang Premedikasi (Tanggal 23 Januari Pukul 16.30 WIB
-          A (Airway)      :Clear, snoring (-), gurgling (-), crowing (-)
-          B (Breathing)  :Spontan, RR: 24 x/menit, SP: vesikuler ka=ki, ST: -/-, pernapasan cuping hidung (-), hematopneumotoraks (-), jejas pada toraks (-), flail chest (-)
-          C (Circulation):Akral hangat, Nadi: 82 x/menit, reguler, TD: 120/80 mmHg, suhu: 36,8°C
-          D (Disability)  :GCS 15 (E4V5M6), pupil: isokor, , pingsan (-), kejang (-), muntah (-)
-          E (Exposure)   :Edema (-), fraktur (-)

-     Teknik anestesi (GA ETT)
§  Premedikasi dengan petidin 100 mg dan fentanyl 50 mcg secara IV
§  Induksi dengan propofol 120 mg
§  Relaksasi dengan atracurium 30 mg
§  Intubasi ETT no.7
§  Cuff (+)
§  Suara pernapasan: kanan = kiri
§  Fiksasi pada kedalaman 20cm
-     Maintenance dengan N2O : O2 = 2 l/i : 2l/i dan isoflurane 2%

Durante Operasi
-     Lama operasi                     :  3 jam
-     TD                                     :  90-140/60-100 mmHg
-     HR                                    :  100-120 x/menit
-     RR                                     :  18-25 x/menit
-     SpO2                                  :  98-100%
-     Perdarahan                        :  ±1000cc
-     Urin                                   :  600 cc
-     Darah                                : 2 bag PRC
-     Cairan :
·         RL 3500 cc
·         Gelofusal 500 cc
·         Nacl  425 cc
Medikasi

·         Petidin 100mg
·         Sulfas Atropin 1cc
·         Fentanyl 1 cc
·         Tramus 30 mg
·         Propofol 120 mg
·         Isoflurance 2 vol%
·         Ranitidin 50mg
·         Ondansetron 4mg
·         Tramus 10mg
·         Efedrin 100mg
·         Ketorolac 30mg

Monitoring Vital Sign

Time
Saturasi
Heart Rate(menit)
Tekanan Darah (mmHg)
16.30
100%
100
130/100
16.45
99%
60
90/60
17.00
100%
90
140/80
17.15
100%
70
120/70
17.30
100%
70
130/70
17.45
100%
70
130/70
18.00
100%
70
130/90
18.15
99%
80
140/40
18.30
100%
88
130/70
18.45
98%
85
110/70
19.00
100%
80
110/70
19.15
100%
88
140/90


                               
 













 
























2.7 Post Operasi
Diagnosa Post \Operasi:
Post Laparotomy a/i Ileus Obstruktif

Pemeriksaan Fisik Post Operasi di RR
B1    :  Airway clear,. RR:20x/men, SP vesikuler, ST -/-, SpO2 100%
B2    :  Akral Dingin, TD 110/70 mmHg, HR  98 x/menit, T/V kuat/cukup, reguler, suhu : 36,1°C
B3    :  Sens : DPO, pupil isokor, φ 3 mm/3 mm, RC +/+
B4    :  vol. ± 200cc/jam, warna kuning
B5    :  Abdomen distensi (-), peristaltik (-), NGT (+), luka operasi tertutup verband, drain satu buah di kanan
B6    :  Edema (-), fraktur (-)

Rencana Post Operasi
-          Cek darah rutin
-          Pemeri ksaan patologi anatomi

Terapi Post Operasi
Bed Rest
Head Up 30 derajat
Diet Sementara Puasa à Rencana TPN
-  Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam iv
-  Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam iv
-  Inj. Metronidazole 500 mg/24 jam drips
-  Inj. Gentamicin 80mg/12 jam iv
-  Inj. Ranitidin 50mg/12 jam

2.8       Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam



BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1  Persiapan Preanestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Tindakan anestesia umum atau regional pada pembedahan emergensi, merupakan suatu tindakan darurat dengan penuh resiko. Kunjungan pra anestesi bertujuan mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat-obat anestesi yang sesuai, serta menentukan klasifikasi yang sesuai (berdasarkan klasifikasi ASA).
Pada pasien ini persiapan yang dilakukan meliputi:
1.            Mesin anastesia yang telah diperiksa dan berjalan dengan baik
2.            Alat-alat pernapasan, oksigenisasi, intubasi dan suction
3.            Alat transfuse dan pemberian cairan
4.            Penghangat darah dan alat pompa darah
5.            Alat penghangat badan dan selimut
6.            Alat monitoring dan defibrillator
Biasanya, disingkat menjadi:
            S          : Scope             : Stetoscope, Laryngoscope
            T          : Tubes             : Endotracheal tube (ETT), Laryngeal mask
A         : Airway           : Oropharyngeal airway (GOODLE/MAYO), Nasopharingeal airway, bag valve mask
T          : Tapes             :Plester
I           : Introducer     : stylet/Mandrin
C         : Connector     : Penghubung dari sungkup ke corrugate
S          : Suction          : Tabung, selang dan canule suction
Penilaian dan persiapan penderita:
            Sambil menunggu persiapan kamar bedah selesai pada penderita dilakukan:
A.    Penilaian klinis dan penanggulangan keadaan darurat
1.      Penanggulangan gangguan jalan napas, oksigenasi dan ventilasi buatan
2.      Perbaikan gangguan hemodinamik
3.      Evaluasi penyakit lain yang menyertainya atau komplikasi dari penyakit bedah
4.      Observasi/monitoring ketat
Penanggulangan keadaan darurat
a)      Penanganan pasien ileus obstruktif saat pertama kali datang tetap mengikuti kaidah primary survey (Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure).
b)      Dalam hal airway, kelancaran jalan napas harus dijaga. Penilaian adanya obstruksi jalan napas harus dilakukan segera. Selain melakukan pembebasan jalan napas, harus juga dijaga agar leher tetap dalam posisi netral.
c)      Dalam hal breathing, penolong harus membebaskan leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala. Lalu dinilai laju dan dalamnya pernapasan. Inspeksi dan palpasi leher dan dada dilakukan untuk menentukan adanya deviasi trakea, pemakaian otot pernapasan tambahan, dan tanda cedera lainnya. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi merupakan hal vital untuk semua pasien syok. Hipoksia dapat dipantau melalui pulse oximetry atau pemeriksaan Analisis Gas Darah (AGDA).
d)     Dalam hal circulation, harus dilakukan kontrol perdarahan. Penilaian kecepatan, kualitas, dan keteraturan nadi harus dilakukan. Warna kulit dan tekanan darah juga harus dinilai. 2 i.v line berukuran besar harus segera dipasang, terutama pada pasien dengan ancaman syok. Pasien ileus obstruktif umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan syok. Resusitasi cairan merupakan hal penting dalam menangani keadaan tersebut. Resusitasi cairan diawali dengan pemberian kristaloid i.v. hangat. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan derajat dehidrasi dan syok. Substitusi elektrolit (terutama kalium) kadang diperlukan. Pasien perlu dipasang kateter urin untuk memantau urine output tiap jam. Sampel darah diambil untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan, golongan darah dan cross match, dan AGDA.
e)      Dalam hal disability, dilakukan pemeriksaan neurologis singkat. Tingkat kesadaran ditentukan dengan menggunakan skor Glasgow Comma Scale (GCS). Pupil dinilai besarnya dan refleks cahayanya.
f)       Dalam hal exposure, pakaian penderita dibuka dan dilakukan pencegahan hipotermia.
g)      Bila seluruh penilaian dan penangan awal pada primary survey sudah dilakukan dan pasien telah stabil, maka dapat dilakukan secondary survey. Pada secondary survey, dilakukan penilaian terhadap seluruh sistem organ secara lengkap dan komprehensif, yakni sistem pernapasan (breathing/B1), sistem peredaran darah (blood/B2), sistem saraf (brain/B3), sistem saluran kemih (bladder/B4), sistem pencernaan (bowel/B5), dan sistem muskuloskeletal (bone/B6).
B.     Informasi penyakit
1.      anamnesis/alloanamnesis kejadian penyakit
2.      riwayat alergi, hipertensi, diabetes mellitus, operasi sebelumnya, asma, komplikasi transfusi darah (apabila pernah mendapatkan transfusi)
3.      riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesia)
4.      makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat anestesi)

3.2 KLASIFIKASI ASA
      Klasifikasi ini penting untuk menilai keadaan penderita sebelum operasi
      ASA I       : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
      ASA II      : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. Patient with stable, treated illness like arterial hipertension, diabetes mellitus, asma bronkial, dan obesitas
      ASA III    : Pasien dengan penyakit sistemik berat hingga aktifitas rutin terbatas like heart ilness, late infarct.
      ASA IV    : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktifitas
                          rutin penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat like renal insuficiency, unstable hypertension, circulatory insuficiency.
ASA V      : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan hidupnya
                    tidak akan lebih dari 24 jam.
ASA VI    : Brain death-potential organ donor

3.3 PREMEDIKASI
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan, dengan tujuan melancarkan anastesia.Tujuan Premedikasi sangat beragaman, diantaranya :
-          Mengurangi kecemasan dan ketakutan
-          Memperlancar induksi dan anesthesia
-          Mengurangi sekresi ludah dan broncus
-          Meminimalkan jumlah obat anesthetic
-          Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
-          Menciptakan amnesia
-          Mengurangi isi cairan lambung
-          Mengurangi reflek yang membahayakan

3.4  INDUKSI DAN RUMATAN ANESTESI
Induksi Anestesia
       Induksi anestesia ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi anestesia dapat dilakukan dengan cara intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Induksi Intravena
       Propofol menjadi obat induksi anestesi yang paling banyak dipilih untuk berbagai jenis anestesi. Terutama jika pasien diharapkan untuk cepat bangun. Cepatnya pemulihan kesadaran dengan residu system saraf pusat yang minimal adalah keunggulan propofol disbanding dengan obat-obat anestesi yang lainnya. Propofol merupakan ospropylphenol yang diberikan secara intravena dengan konsentrasi 1%, solusi dalam solven yang berwarna putih susu.
Propofol menghasilkan efek sedative hipnotik melalui interaksi dengan GABA (menurunkan disosiasi GABA dengan reseptornya), menyebabkan terbukanya saluran ion klorida dengan hasil hiperpolarisasi pada membrane sel
       Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30 – 60 detik dengan dosis 1,5 – 2,5 mg/kgBB. Pemulihan yang hampir sempurna tanpa efek residu pada sistem saraf sentral dan penuurunan rasa mual dan muntah. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga 1 menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB.
Rumatan Anestesia
       Rumatan anestesia dapat dikerjakan secara intravena (anestesia intravena lokal) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10 – 50 µg/kgBB. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4 – 12 mg/kgBB/jam.2
Rumatan inhalasi
       Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4 vol%  bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.

3.5  OBAT-OBAT ANESTESI
1.      Premedikasi : Sulfas Atropin
Obat antikolinergik parasimpatis. Obat ini menimbulkan efek blokade pada ujung saraf choinergik postganglion.
Penggunaan klinis
Dosis 0,01 – 0,04 mg/kgBB
2.      Fentanil
Obat analgesik yang sangat kuat yang berupa cairan isotonic steril untuk penggunaan secara IV, zat sintetik seperti pethidin dengan kekuatan 100x morfin.
Penggunaan klinis
Dosis rendah 2 µg/kgBB bermanfaat dalam bedah minor tapi menimbulkan rasa sakit
Dosis sedang 2 – 20 µg/kgBB sulit pembedahan
Dosis tinggi 20 – 50 µg/kgBB, bedah besar dan lama

Kontraindikasi
Jangan diberikan kepada pasien yang diketahui pernah mengalami alergi dengan efek obat ini.
  1. Induksi : Propofol
§  onset cepat (30 detik), duration of action pendek (5 – 10 menit)
§  akumulasi minimal, cepat dimetabolisme, pemulihan cepat
§  tidak ada komplikasi pada tempat penyuntikan
Penggunaan klinis
Dosis  induksi 2 – 2,5 mg/kgBB
Dosis maintenece 6 – 10 mg/kg/jam
Dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg
Mekanisme kerja
Menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan gamma-amino butyric acid (GABA), neurotransmitter inhibitori utama pada sistem saraf pusat.
            Kontraindikasi
§  pasien yang diketahui ada alergi terhadap propofol
§  anak-anak dibawah 3 tahun
§  sedasi pada perawatan intensive dibawah umur 16 tahun
  1. Muscle relaxant : Roculax
Merupakan aminosteroid monoquaternary OBNM nondepolarizing. Obat ini yang bekerja cepat dengan memblokade nicotinic cholinoreceptor pada motor end plate. Efek obat ini dapat dilawan oleh acethylcholinesterase inhibitor
            Penggunaan klinis
            Dosis 0,5 - 0,6 mg/kgBB dengan OOA 1 – 2 menit dan 30 – 45 menit
            Dosis maintenance 0,15 mg/kg
            Kontraindikasi
§  Gangguan fungsi hati
§  Gangguan fungsi ginjal
Pasien ileus obstruktif umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan mungkin syok. Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu keadaan keseimbangan cairan yang negatif atau terganggu yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis penyakit. Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada pemasukan air (input). Cairan yang keluar biasanya disertai dengan elektrolit.
Yang dinilai
Skor
A
B
C
Keadaan umum
Baik
Lesu/Haus
Gelisah, lemas, mengantuk hingga syok
Mata
Biasa
Cekung
Sangat cekung
Mulut
Biasa
Kering
Sangat cekung
Turgor
Baik
Kurang
Jelek
Skor     <2 tanda di kolom B dan C    : Tanpa dehidrasi
            >2 Tanda di kolom B              : Dehidrasi ringan sedang
            >2 Tanda di kolom C              : Dehidrasi berat

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat.
Tanda-Tanda Klinis
Ringan
Sedang
Berat
Hemodinamik
Takikardi
Takikardi, hipotensi ortostatik, nadi lemah, vena kolaps
Takikardi, sianosis, nadi sulit diraba, akral dingin
Jaringan
Mukosa lidah kering
Lidah lunak, keriput
Atonia, mata cekung/corong
Turgor Kulit
< 
<< 
<<< 
Urin
Pekat
Pekat, jumlah menurun
Oliguria
Kesadaran
Normal
Apatis, gelisah
Koma
Defisit
3-5% BB
6-8% BB
10% BB
Berdasarkan gambaran elektrolit serum, dehidrasi dapat dibagi menjadi: (1) dehidrasi hiponatremik atau hipotonik, (2) dehidrasi isonatremik atau isotonik, dan (3) dehidrasi hipernatremik atau hipertonik.
Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium yang relatif lebih besar daripada air, dengan kadar natrium kurang dari 130 mEq/L. Apabila terdapat kadar natrium serum 120-125 mEq/L, maka akan terjadi keluhan pusing, mual, muntah, atau bingung. Apabila kadar natrium turun sampai di bawah 115 mEq/L, akan terjadi kejang, koma, bahkan kerusakan neurologis permanen. Kehilangan natrium dapat dihitung dengan rumus :
Defisit natrium (mEq) = (135 - S Na) air tubuh total (dalam L) (0,6 x berat badan dalam kg).
Dehidrasi isonatremik (isotonik) terjadi ketika hilangnya cairan sama dengan konsentrasi natrium dalam darah. Kehilangan natrium dan air adalah sama jumlahnya/besarnya dalam kompartemen cairan ekstravaskular maupun intravaskular. Kadar natrium pada dehidrasi isonatremik 130-150 mEq/L. Tidak ada perubahan konsentrasi elektrolit darah pada dehidrasi isonatremik.
Dehidrasi hipernatremik (hipertonik) terjadi ketika cairan yang hilang mengandung lebih sedikit natrium daripada darah (kehilangan cairan hipotonik), kadar natrium serum > 150 mEq/L. Kehilangan natrium serum lebih sedikit daripada air, karena natrium serum tinggi, cairan di ekstravaskular pindah ke intravaskular meminimalisir penurunan volume intravaskular. Dehidrasi hipertonik dapat terjadi karena pemasukan (intake) elektrolit lebih banyak daripada air. Cairan rehidrasi oral yang pekat, susu formula pekat, larutan gula garam yang tidak tepat takar merupakan faktor resiko yang cukup kuat terhadap kejadian hipernatremia. Terapi cairan untuk dehidrasi hipernatremik dapat sukar karena hiperosmolalitas berat dapat mengakibatkan kerusakan serebrum dengan perdarahan dan trombosis serebral luas, serta efusi subdural. Jejas serebri ini dapat mengakibatkan defisit neurologis menetap.
Resusitasi cairan adalah tindakan mengganti kehilangn cairan tubuh yang hilang patologis kembali menjadi normal. Algoritme penanganan pasien dengan dehidrasi meliputi langkah-langkah berikut ini:
(1) Pemasangan jalur intravena ukuran besar untuk akses pemberian terapi cairan;
(2) Menilai kondisi umum pasien seperti hemodinamik, jaringan, turgor kulit, urin, dan kesadaran, untuk kemudian pasien diklasifikasikan berdasarkan derajat dehidrasinya;
 (3) Menghitung perkiraan kehilangan cairan berdasarkan derajat dehidrasi dan berat badan pasien;
(4) Memberikan terapi cairan berdasarkan derajat dehidrasinya dimana pasien dengan dehidrasi berat, dilakukan pemberian cairan awal (dehidrasi tahap cepat) dengan kecepatan 20-40 ml/kgBB/jam selama 30-60 menit. Selanjutnya diberikan terapi cairan tahap lambat yang dibagi menjadi 2 bagian, yaitu 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya. Pada 8 jam pertama, diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan cairan rumatan untuk 8 jam. Untuk 16 jam berikutnya, diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan cairan rumatan untuk 16 jam.
Terapi cairan pada dehidrasi derajat ringan atau sedang langsung dimulai dengan tahap lambat seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien dengan dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%. Kristaloid juga dipilih untuk memberikan cairan rumatan;
(5) Melakukan penilaian dari respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan. Apabila pasien berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak berespon terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi ini dapat pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang adekuat, sehingga perlu dilakukan penilaian ulang terhadap derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.

Kebutuhan normal untuk rumatan dapat dilihat pada tabel berikut:
Berat Badan
Jumlah cairan
0 – 10 kg
4ml/kg/jam
10 – 20 kg berikutnya
Tambahkan 2ml/kg/jam
Untuk setiap kg di atas 20kg
Tambahkan 1ml/kg/jam
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang karena obstruksi ataupun puasa, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna (NGT). Antibiotik yang diberikan harus spektrum luas, dapat menjangkau bakteri aerob dan anaerob, dan diberikan secara intravena. Penggunaan antibiotik lebih awal dan sesuai merupakan kunci untuk mengurangi mortalitas pada pasien dengan syok septik yang berhubungan dengan ileus obstruktif.












BAB4
PENUTUP

            Anestesi umum (general anestesi) adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus obstruksi usus,  bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang. Tindakan anestesi dapat dilakukan setelah dilakukannya tindakan premedikasi dengan tujuan untuk memperlancar induksi dan keberhasilan dari anestesi. Pemilihan jenis anestesi tergantung dari kebutuhan serta besar kecilnya tindakan operasi yang akan dilakukan.















DAFTAR PUSTAKA
American Heart Assosiation, 2015,’ Guidelines CPR and ECG’, diakses tanggal 23 Januri 2017 pukul 06.00 WIB
Robert,Hedges, 2011,’Clinical Prosedures in Emegency Patient,www.medicalcity-iq.net/medlib/Emergency%20Medicine%20Procedures-Roberts.pdf diakses tanggal 18 Januari 2017 pukul 04.30
DasarAnestesiologi.https://fkunmul04.files.wordpress.com/2008/11/anestesiologi.pdf. diakses tanggal 16 januari 2017 pukul 00.08
Emergency and Critical Care, 2015, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makasar
Formularium Nasional, 2015, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,Jakarta.
Latief,A,Said, Suryadi, A, Kartini, Dachlan, Muhammad, M,’ Petunjuk Praktis Untuk Anestesiologi’, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta
Prince dan wiliam, 2005,”Patofisiologi’, EGC, Jakarta
Sugery, 2015, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makasar
Syamsuhidajat, De-jong, 2010,’ Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.
Leksana, Eri, 2015,’Strategi Terapi Cairan Pada Dehidrasi’, SMF Anestesi dan Terapi Intensif RSUP dr Kariadi/FAkultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Wargahadibrata, Himendra,’Anestesiologi Untuk Mahasiswa Kedokteran’, Saga Olahcitra. Bandung.




















Komentar

Postingan populer dari blog ini

proposal blok 8 penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke atau cedera serebrovaskular merupakan penyakit serebrovaskular yang terjadi secara tiba –tiba dan menyebabkan kerusakan neurologis. Kerusakan neurologis tersebut dapatdisebabkan oleh adanya sumbatan total atau parsial pada satu atau lebih pembuluh darah serebral sehingga menghambat aliran darah ke otak. Hambatan tsb terjadi akibat pecahnya pembuluh darah atau penymbatan pembuluh darah oleh gumpalan atau clot. (Ikawati, 2011) Berdasarkan laporan penelitian University of Cambridge, didapatkan bahwa 20.000 orang berumur antara 41-80 tahun dalam rentang waktu 8,4 tahun, 595 mengalami stroke dengan resiko 40% lebih tinggi terkena stroke. Stroke merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia termasuk Indonesia sesudah Penyakit Jantung Koroner dan Kanker. Menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh nomor satu di Amerika Serikat setiap tahunnya, yang terjadi pada 750.000 orang setiap 45 menit. (Ethical Digest, 2005). Data stroke yan

ANATOMI HISTOLOGI FISIOLOGI EMBRIOLOGI ESOFAGUS

 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1               LATAR BELAKANG Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm dan berdiameter 2 cm, yang terbentang dari hipofaring hingga kardia lambung. Esofagus terletak di anterior vertebrae dan menembus hiatus diafragma tepat di anterior aorta. Esofagus terutama berfungsi menghantarkan bahan yang dimakan dari faring ke lambung. Pada kedua ujung esofagus terdapat otot sfingter. Otot krikofaringeus membentuk sfinter esofagus bagian atas dan terdiri atas serabut-serabut otot rangka. Bagian esofagus ini secara normal berada dalam keadaan tonik atau kontraksi kecuali pada waktu menelan. Sfingter esofagus bagian bawah, walaupun secara anatomis tidak nyata bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal sfingter ini menutup, kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu berdahak atau muntah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1   

LAPORAN KASUS JIWA SKIZOFRENIA

I.           IDENTITAS PASIEN             Nama                                        :             Jenis Kelamin                           : Laki-laki             Umur                                        : 19 tahun Alamat                                                 :             Status Pernikahan                    : Belum Kawin Pekerjaan                                  : Tidak Bekerja             Pendidikan Terakhir                 :   SMA             Agama                                      : Islam             Suku                                         :             TMRS                                      : 23 November 2017             Tanggal Pemeriksaan               : 24 November 2017 II          RIWAYAT PSIKIATRI             Data diperoleh dari: 1.          Rekam medis                    : 2.          Autoanamnesis                  : 3.          Alloanamnesis                  : - A.        Keluhan Utama Mengamuk B.