BAB 2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Depresi
2.1.1 Definisi
Depresi adalah suatu
respon psikologis terhadap kehilangan kesehatan, kehilangan orang yang dicintai
atau kehilangan harga diri serta pada tingkat tertentu akan menyertai setiap
penyakit kronik (Swart, 1995). Depresi diklasifikasikan dalam gangguan mood, suatu
istilah yang sering digunakan untuk mengembalikan suatu penyakit yang berkaitan
dengan mood seseorang (Dorlan, 2012). Depresi adalah gangguan mental yang pada
umumnya ditandai dengan kesedihan, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan
bersalah atau harga diri yang rendah, susah tidur atau berkurangnya nafsu
makan, perasaan kelelahan, dan kurang konsentrasi (WHO, 2014). Gejala ini dapat
bertahan lama atau berkurang, secara substansial mengganggu kemampuan seseorang
untuk berfungsi di tempat kerja atau sekolah, atau menghadapi kehidupan
sehari-hari (WHO, 2012).
2.1.2
Etiologi
A.
Faktor biologis
Penderita gangguan depresi menunjukkan
berbagai macam abnormalitas metabolisme amin biogenik pada darah, urin dan
cairan serebrospinalis (Kaplan, 2010). Perubahan kesetimbangan neurotransmitter
di otak juga berperan dalam menimbulkan depresi. Neurotransmitter yang terutama
berperan pada kejadian depresi adalah monoamine seperti norepinefrin, serotonin
dan dopamin (Mariane, 2010).
B.
Faktor
Genetik
Pasien dengan riwayat
kembar homozigot memiliki peluang terkena depresi sekitar 50%, sedangkan untuk
kembar dizigot 10-25% (Kaplan, 2010).
C.
Faktor
Psikososial
1). Peristiwa kehidupan dan
stres lingkungan
Stres
dalam kehidupan dapat menimbulkan episode depresi pertama kali dan mempengaruhi
neurotransmitter dan sistem intraneuron untuk jangka lama dan menetap (Kaplan,
2010).
2). Faktor kepribadian pramorbid
Semua orang dengan berbagai pola
kepribadian yang mempunyai resiko tinggi untuk menderita depresi adalah kepribadian
dependen, histrionik dan obsesif-kompulsif (Kaplan, 2010).
D.
Faktor
Kognitif
Menurut teori kognitif, depresi
terjadi akibat distorsi kognitif spesifik yang terdapat pada seseorang yang
rentan terhadap depresi. Distorsi kognitif spesifik ini disebut depressigenic schemata yang merupakan
cetakan kognitif yang menerima data internal maupun eksternal dengan cara yang
diubah oleh pengalaman sebelumnya (Kaplan, 2010).
2.1.3
GejalaDepresi
Depresi merupakan gangguan yang
benar-benar harus dipertimbangkan sebagai psikopatologi yang paling sering
mendahului bunuh diri, sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian. Gejala
depresi sering kali timbul bersamaan dengan gejala kecemasan. Manifestasi dari
kedua gangguan ini lebih lanjut sering timbul sebagai keluhan umum seperti:
labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah, kelelahan, sukar konsentrasi
hingga keinginan bunuh diri.
Menurut
Maslim (2001), pembagian gejala depresi adalah :
A.
Gejala
utama :
1.
Afek
depresi
2.
Kehilangan
minat dan kegembiraan
3.
Berkurangnya
energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata
sesudah bekerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas.
B.
Gejala
lainnya:
1.
Konsentrasi dan perhatian berkurang
2.
Harga
diri dan kepercayaan diri kurang
3.
Gagasan
tentang perasaan bersalah dan tidak berguna
4.
Pandangan
masa depan yang suram dan pesimis
5.
Gagasan
atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
6.
Tidur
terganggu
7.
nafsu
makan berkurang
Tabel 2.1 Gejala-gejala lain pada
depresi
No
|
Suasana Hati
|
Kesedihan, kecemasan, mudah marah
|
||
1
|
Berpikir
|
Kehilangan, konsentrasi
lambat dan kacau dalam berpikir, penyalahan diri sendiri, ragu-ragu, harga
diri rendah
|
||
2
|
Perilaku
|
Lamban, mondar-mandir, mudah menangis, mengeluh
|
||
3
|
Motivasi
|
Kurang minat bekerja dan
hobi, menghindari kegiatan kerja sosial, ingin melarikan diri, ketergantungan
tinggi
|
||
4
|
Tanda-tanda biologis
|
Hilang nafsu makan/nafsu makan bertambah, hilangnya
minat berhubungan seksual, lambat/gelisah, mudah pingsan
|
||
Sumber
: Davidson, 1990
2.1.4
Tingkatan
Depresi
Menurut Maslim (2001), tingkatan depresi adalah sebagai
berikut :
1.
Episode
depresi ringan
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3
gejala utama
2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari
gejala lainnya
3) Tidak boleh ada gejala yang berat
diantaranya
4) Lamanya seluruh episode berlangsung
sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan
dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya
2. Episode depresi sedang
1) Sekurang-kurangnya ada 2 dari 3 gejala
utama depresi
2) Ditambah
sekurang-kurangnya harus ada 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
3) Lamanya seluruh episode berlangsung
minimum sekitar 2 minggu
4) Menghadapi kesulitan nyata
untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga
3. Episode depresi berat tanpa gejala
psikotik
1) Semua gejala utama depresi harus ada
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari
gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat
3) Bila ada gejala penting (misalnya
agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau
atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejala secara rinci. Dengan hal
demikian, penelitian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih
dapat dibenarkan
4) Episode depresi biasanya harus
berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan
mempunyai waktu sangat cepat, masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam
kurun waktu kurang dari 2 minggu
5) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu
meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada
taraf yang sangat terbatas
4. Episode depresi berat dengan gejala
psikotik
1) Episode depresi yang memenuhi kriteria
episode depresi berat
2) Disertai waham, halusinasi atau stupor
depresif. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau
malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfatorikbiasanya serupa suara yang menghina atau
menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
2.1.5 Tatalaksana Depresi
1. Rawat Inap
Keputusan pertama dan yang paling
penting yang harus dibuat seorang dokter adalah apakah pasien harus dirawat di
rumah sakit atau sebaiknya dicoba terapi rawat jalan. Indikasi yang jelas untuk
rawat inap adalah kebutuhan prosedur diagnosis, resiko bunuh diri atau membunuh
dan kemampuan pasien yang menurun drastis untuk mendapatkan makanan dan tempat
tinggal. Seorang dokter harus dapat mengobati pasien depresi ringan atau
hipomania dengan aman di tempat praktiknya jika
sering mengevaluasi pasien (Kaplan, 2010).
2.
Terapi
psikososial
a.
Terapi
kognitif
Terapi kognitif digunakan untuk
memfokuskan pada distorsi kognitif, diperkirakan ada pada gangguan depresif
berat. Distorsi tersebut mencakup perhatian selektif terhadap aspek negatif keadaan dan kesimpulan
patologis yang tidak realistis mengenai konsekuensi. Tujuan terapi ini adalah
meringankan episode depresif dan mencegah kekambuhan dengan membantu pasien
mengidentifikasi dan menguji kognisi negatif, mengembangkan cara berfikir
alternatif, fleksibel dan positif serta melatih respons perilaku dan kognitif
yang baru (Kaplan, 2010).
b.
Terapi
interpersonal
Terapi interpersonal memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal
pasien saat ini. Terapi ini didasarkan pada dua asumsi. Asumsi yang pertama,
masalah interpersonal saat ini cenderung memiliki akar pada hubungan yang
mengalami disfungsi sejak awal. Asumsi yang kedua, masalah interpersonal saat
ini cenderung terlibat di dalam mencetuskan atau melanjutkan gejala depresif
saat ini. Sejumlah uji kontrol membandingkan terapi interpersonal, terapi
kognitif, farmakoterapi dan kombinasi antara farmakoterapi dengan psikoterapi
menunjukkan bahwa terapi interpersonal dalam penatalaksanaan gangguan depresif
berat dan tidak mengejutkan, khususnya mungkin membantu menyelesaikan masalah
interpersonal (Kaplan, 2010).
c.
Terapi
perilaku
Terapi ini bertujuan untuk memusatkan
perhatian pada perilaku maladaptif di dalam terapi, pasien belajar berfungsi di
dalam dunia sedemikian rupa sehingga mereka memperoleh dorongan positif. Data
menunjukkan bahwa terapi perilaku adalah terapi yang efektif untuk gangguan
depresi berat (Kaplan, 2010).
3.
Farmakoterapi
Farmakoterapi atau terapi obat merupakan
komponen penting dalam pengobatan gangguan depresif. Ada banyak faktor yang
harus diperhitungkan, misalnya target gejala, kerja obat, farmakokinetik, cara
pemberian, efek samping, interaksi obat, sampai pada harga obat. Perencanaan
terhadap intervensi pengobatan adalah mencakup 3 komponen yatu, fase akut yang
bertujuan untuk meredakan gejala, fase kelanjutan untuk mencegah relaps serta fase pemeliharaan untuk
mencegah rekuren. Obat anti depresan yang tersedia di pelayanan kesehatan
primer biasanya golongan tetrasiklik, tetapi belum optimal karena kurangnya
kemampuan diagnostik dari pelayanan kesehatan primer (Depkes, 2007).
1.
TricyclicAntidepressants
Obatinimembantumengurangigejala-gejaladepresidenganmekanismemencegahreuptake
darinorephinefrindanserotonindisinapsataudengancaramengubahreseptor-reseptordarineurotransmitternorephinefrindanserotonin.Obatinisangatefektif,terutamadalammengobatigejala-gejalaakutdaridepresisekitar60%padaindividuyangmengalamidepresi.Tricyclic
antidepressantsyangseringdigunakanadalahimipramine,
amitryiptilene,dandesipramine
(Reus,2004).
2.
Monoamine
OxidaseInhibitor
Obatlinikeduadalammengobatigangguandepresimayor
adalahMonoamine
Oxidase Inhibitors
yang bergunauntukmeningkatkanketersediaanneurotransmitterdengancaramenghambataksidariMonoamineOxidase,suatuenzimyang normalnyaakanmelemahkanataumengurangineurotransmitterdalamsambungansinaptik(Greene,2005).Monoamine Oxidase Inhibitors samaefektifnyadenganTricyclic Antidepressants
tetapilebihjarangdigunakankarenasecarapotensiallebihberbahaya (Reus,2004).
3.
SelectiveSerotonineReuptakeInhibitors andRelatedDrugs
SelectiveSerotonineReuptakeInhibitorsmempunyaistrukturyanghampirsamadenganTricyclicAntidepressants,tetapimempunyaiefeklangsungdalammempengaruhikadarserotonin.
SelectiveSerotonineReuptakeInhibitors lebihcepatmengobatigangguandepresimayoryang disertaidengangangguanlainnyaseperti:gangguanpanik,binge eating,gejala-gejalapramenstrualserta mempunyai efek samping yang lebih sedikit. PasiendepresiyangmenggunakanSSRIakanmendapatkanefekyangsignifikandalampenyembuhan(Reus,2004)
4. TerapiElektrokonvulsan
Terapi ini paling
sering
digunakan
pada pasien
dengan
gangguan depresi yangtidakdapatsembuh
dengan obat-obatan(Reus,2004).
2.2
Kusta
2.2.1 Definisi
Istilah kusta
berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha
berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Kusta merupakan penyakit
infeksi yang kronik dan penyakit menular yang sifatnya kronis. Penyakit ini
dapat merusak kulit, saraf perifer dan mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Djuanda, 2006).
2.2.2 Etiologi
Disebabkan oleh
kuman Mycobacterium leprae ditemukan pertama kali oleh GH Armauer Hansen pada tahun 1873 (Smith,
2014) . Kuman ini bersifat gram positif, tidak bergerak dan tidak
berspora, tahan asam, berbentuk batang, dengan ukuran 1-8µ, lebar 0,2-0,5 µ,
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar (Djuanda, 2006).
2.2.3 Patogenesis
Mycobacterium leprae adalah organisme tahan asam intrasel obligat yang
sangat lambat dalam bermultiplikasi sehingga membutuhkan waktu 5 tahun untuk inkubasi serta 20 tahun untuk menimbulkan gejala bagi
penderitanya (WHO, 2015). Kuman ini tumbuh subur pada suhu 320C
sampai 340C, yakni suhu tubuh manusia dan suhu tubuh inti armadilo. Mycobacterium leprae ini tidak mengeluarkan toksin dan virulensinya
didasarkan pada sifat dinding selnya. Dinding selnya cukup mirip dengan M. tuberculosis sehingga imunisasi
dengan BasilCalmette-Guerin (BCG)
sedikit banyak memberikan informasi terhadap infeksi M. Leprae (Djuanda, 2006).
2.2.4 Cara penularan
penyakit kusta
Penyakit kusta dapat ditularkan
dari penderita tipe Multibasiler (MB) kepada orang dengan cara penularan
langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para
ahli berpendapat bahwa penyakit ini dapat ditularkan melalui saluran pernafasan
dan kulit.
Cara penularan kusta
tergantung dari beberapa faktor antara lain :
a.
Faktorpenularan
Sumber penularan dari
penyakit kusta ini adalah dari pasien kusta tipe MB ke orang lain jika berobat tidak teratur.
b.
Faktorkumankusta
Kumankustadapathidupdiluartubuhmanusiaantara
1 haritergantungpadasuhuataucuaca, dandiketahuihanyakumankusta yang utuh (solid)
saja yang dapatmenimbulkanpenularan.
c.
Faktordayatahantubuh
Bila seseorang terinfeksi M. leprae, sebagian besar (95 %) akan
sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate,
30% bermanifestasi klinis menjadi determinate
dan 70% sembuh (Rosani, 2014).
Faktor-faktor lain yang berperan dalam penularan ini adalah (Depkes,
2012) :
1.
Etnik
atau suku
Dalam suatu negara atau
wilayah yang sama kondisi lingkungannya, didapatkan bahwa faktor etnik
mempengaruhi distribusi tipe kusta. Kusta tipe lepromatous lebih banyak terjadi pada etnik Burma dibandingkan
etnik India di Myanmar. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama,
kejadian kusta tipe lepromatous lebih
banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India.
2.
Faktor
sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi
berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini dibuktikan dengan adanya
peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan
hilang.
3.
Distribusi
menurut umur
Kusta diketahui dapat
terjadi pada semua usia berkisar antara bayi sampai usia lanjut (3 minggu
sampai lebih dari 70 tahun) dengan kejadian terbanyak terjadi pada usia muda
dan produktif.
4.
Distribusi
menurut jenis kelamin
Laki-laki lebih banyak
terserang dari pada wanita di sebagian besar negara kecuali di beberapa negara
di Afrika.
2.2.5 Gejala Klinis
Diagnosis penyakit kusta berdasarkan atas
gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Hasil bakterioskopis
memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14
hari (Djuanda, 2006).
Untuk menegakkan diagnosa kusta perlu dicari
tanda-tanda utama (Cardinal Sign),
yaitu :
1.
Kelainan (lesi) kulit yangmati rasa.
Kelainan
kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan
(eritema) yang mati rasa (anastesi).
2.
Penebalansaraftepi yang
disertaidengangangguanfungsisaraf.
Gangguan
fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer)
kronis. Gangguan fungsi saraf ini dapat berupa :
1). Gangguan fungsi sensoris, yaitu mati rasa
2). Gangguan fungsi motoris, yaitu kelemahan atau
kelumpuhan otot
3). Gangguan fungsi otonom, yaitu kulit kering dan
retak-retak
3.
Basil TahanAsam (BTA)
dapatditemukanpadapemeriksaankerokankulit.
Seseorang pasien pada
dasarnya bisa disebut terdiagnosis kusta jika ditemukan salah satu dari 3 cardinal signdi atas.Pasien yang hanya
menunjukkan gejala penebalan saraf tepi saja, perlu dirujuk ke dokter spesialis
atau pasien tersebut dapat dianggap sebagai tersangka kusta (Depkes, 2012).
Tanda-tanda tersangka kusta
1.
Tanda
bercak pada kulit
1). Bercak kulit yang merah atau putih (gambaran
yang paling sering ditemukan) atau plakat
pada kulit, terutama di wajah dan telinga
2). Bercak kurang atau mati rasa
3). Bercak yang tidak gatal
4). Kulit mengkilap atau kering bersisik
5). Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dan atau
tidak berambut
6). Lepuh tidak nyeri
2. Tanda-tanda
pada saraf
1).
Nyeri tekan dan atau spontan pada saraf
2). Rasa
kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak
3).
Kelemahan anggota gerak & atau wajah
4).
Adanya cacat
5). Luka
yang sulit sembuh
3. Lahir
atau tinggal di wilayah endemik kusta dan mempunyai kelainan kulit yang tidak
sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi
(Depkes, 2012).
2.2.6
KlasifikasiKusta
WHO
(1995) membagi tipe kusta menjadi 2 yaitu : (Depkes , 2012)
1.
TipePausibasiler (PB)
2.
TipeMultibasiler(MB)
Perbedaan kedua tipe ini dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel
2.2 Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)
|
PB
|
MB
|
Lesi
kulit (makula datar, papul yang meninggi, nodus)
|
1.
1 sampai 5 lesi
2.
Hipopigmentasi/
eritema
3.
Distribusi tidak
simetris
4.
Hilangnya sensasi yang
jelas
|
Besar
dari 5 lesi
-
Distribusi lebih simetris
Hilangnya
sensasi kurang jelas
|
Kerusakan
saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
|
Hanya satu cabang saraf
|
Banyak
cabang saraf
|
Sumber : Djuanda, 2006
Masuknya M. leprae ke dalam tubuh pasien, dapat menimbulkan gejala
klinis sesuai dengan kerentanan pasien tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
pada Sistem Imunitas Selular (SIS) penderita. sistem imunitas selular yang baik
akan tampak gambaran klinis ke arah tuberculoid,
sebaliknya SIS yang rendah memberikan gambaran lepromatous. Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang
terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu (Djuanda, 2006) :
1.
Bentuk
yang Stabil
a.
Tuberculoid Tuberculoid (TT) adalah tipe dengan lesi yang mengenai kulit maupun
saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat,
batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang mengalami regresi
atau penyembuhan.
b.
Lepromatous Lepromatous (LL) adalah tipe dengan lesi sangat banyak, simetrik,
permukaan halus, lebih eritem, mengkilat, berbatas tidak tegas dan tidak
ditemukan gangguan anastesi dan anhidrosis pada stadium dini
2.
Bentuk
labil
a.
Tuberculoidindefinite (Ti) adalah tipe dengan campuran antara tuberkuloid dan
lepromatosa
b.
Lepromatousindenfinite (Li) adalah tipe campuran antara tuberkuloid dan
lepromatosa dengan mengandung lepromatosa yang lebih banyak
c.
Borderline tuberculoid (BT) adalah tipe dengan lesi yang hampir sama dengan TT,
yakni berupa makula anastesi atau plak yang sering disertai lesi satelit
dipinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid.
d.
Borderline Borderline (BB) adalah tipe yang paling tidak stabil dari semua
spektrum penyakit kusta. Tipe ini disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan
jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltrat. Permukaan lesi dapat
mengkilat, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe borderline
tuberkuloid dan cenderung simetrik.
e.
Borderline lepromatous (BL) adalah lesi yang secara klasik dimulai dengan
makula dan hanya dalam jumlah sedikit, kemudian dengan cepat menyabar ke
seluruh badan. Makula ini lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya.
Tahun 1987, untuk
kepentingan pengobatan terjadi perubahan dimana yang dimaksud dengan kusta PB
adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I,
TT, dan BT. Jika disertai BTA positif pada tipe-tipe tersebut, maka dimasukkan
ke dalam kusta MB. Kusta tipe MB adalah semua penderita kusta tipe BL, BB dan
LL (Djuanda, 2006).
Tabel 2.3 Gambaran klinis, bakteriologik dan
imunologik kusta Multibasilar
Sifat
|
Lepromatous lepromatous (LL)
|
Borderline lepromatous (BL)
|
Borderline borderline (BB)
|
Lesi
Bentuk
|
Makula
Infiltrat
difus
Papul
Nodus
|
Makula
Plakat
Papul
|
Plakat
Dome-shaped (kubah)
Punched-out
|
Jumlah
|
Tidak
terhitung, praktis tidak ada kulit sehat
|
Sukar
dihitung, masih ada kulit sehat
|
Dapat
dihitung, kulit sehat jelas ada
|
Distribusi
|
Simetris
|
Hampir
simetris
|
Asimetris
|
Permukaan
|
Halus
berkilat
|
Halus
berkilat
|
Agak
kasar, agak berkilat
|
Batas
|
Tidak
jelas
|
Agak
jelas
|
Agak
jelas
|
Anastesia
|
Biasanya
tak jelas
|
Tak
jelas
|
Lebih
jelas
|
BTA
Lesi Kulit
|
Banyak
(ada globus)
|
Banyak
|
Agak
banyak
|
Sekret
Hidung
|
Banyak
(ada globus)
|
Biasanya
negatif
|
Negatif
|
Tes lepromin
|
Negatif
|
Negatif
|
Biasanya
negatif
|
Sumber
: Djuanda, 2006
Tabel 2.4 Gambaran klinis, bakteriologik dan
imunologik kusta Pausibasilar
Sifat
|
Tuberculoid Tuberculoid (TT)
|
Borderline tuberculoid (BT)
|
Indeterminate (I)
|
Lesi
Bentuk
|
Makula
saja, makula dibatasi infiltrat
|
Makula
dibatasi infiltrat, infiltrat saja
|
Hanya
infiltrat
|
Jumlah
|
Satu,
dapat beberapa
|
Beberapa
atau satu dengan satelit
|
Satu
atau beberapa
|
Distribusi
|
Asimetris
|
Masih
asimetris
|
Variasi
|
Permukaan
|
Kering
bersisik
|
Kering
bersisik
|
Halus,
agak berkilat
|
Batas
|
Jelas
|
Jelas
|
Dapat
jelas atau dapat tidak jelas
|
Anastesia
|
Jelas
|
Jelas
|
Tak
ada sampai tidak jelas
|
BTA
Lesi Kulit
|
Hampir
selalu negatif
|
Negatif
atau hanya 1+
|
Biasanya
negatif
|
Tes lepromin
|
Positif
kuat 3+
|
Positif
lemah
|
Dapat
positif lemah atau negatif
|
Sumber
: Djuanda, 2006
2.2.7 Pengobatan
Regimen pengobatan kusta adalah Multy
Drug Therapy (MDT), yaitu kombinasi dua atau lebih obat antikusta yang
bersifat bakterisidal maupun bakteriostatik (Djuanda, 2006).
Tujuan pengobatan
MDT adalah :
1.
Memutuskanmatarantaipenularan.
2.
Mencegah
resistensi obat.
3.
Memperpendek
masa pengobatan.
4.
Meningkatkan
keteraturan berobat.
5.
Mencegah
terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai
dengan yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut
(Depkes,2012) :
1.
Pausibasilar
Pasien kusta dengan tipe PB akan dibutuhkan pengobatan selama 6-9 bulan,
dengan rincian pengobatan sebagai berikut:
Dewasa
1).Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum
didepan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg)
b. 1 tablet Dapson/DDS 100 mg
2). Pengobatan
harian : hari ke 2-28
a. 1 tablet Dapson 100 mg
Anak umur 10-15 tahun
1).Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum
didepan petugas)
a.2 kapsul Rifampisin 150 mg dan 300
mg
b. 1 tablet Dapson/DDS 50 mg
2).
Pengobatan harian : hari ke 2-28
a. 1
tablet Dapson 50 mg
2.
Multibasiler
Pasien
kusta dengan tipe MB akan dibutuhkan pengobatan selama 12-18 bulan, dengan
rincian pengobatan sebagai berikut:
Dewasa
1).Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum didepan
petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg)
b. 3 tablet Lamprene @100 mg (300 mg)
c. 1 tablet Dapson/DDS 100 mg
2). Pengobatan harian : hari ke 2-28
a.
1 tablet Lamprene 50 mg
b. 1
tablet Dapson/DDS 100 mg
Anak umur 10-15 tahun
1).Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum
didepan petugas)
a. 2 kapsul Rifampisin
150 mg dan 300 mg
b. 3 tablet Lamprene @50 mg (150 mg)
c. 1 tablet Dapson/DDS 50 mg
2).
Pengobatan harian : hari ke 2-28
a. 1 tablet Lamprene 50 mg selang sehari
b. 1 tablet Dapson/DDS 50 mg
Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi
pasien kusta digunakan tabel sebagai berikut:
Tabel
2.5 Dosis MDT tipe PB
Obat
|
5 – 9 tahun
|
10 – 15 tahun
|
> 15 tahun
|
Keterangan
|
Rifampisin
|
300 mg /bulan
|
450 mg /bulan
|
600 mg /bulan
|
Diminum di depanpetugas
|
DDS
|
25 mg /bulan
|
50 mg /bulan
|
100 mg /bulan
|
Diminum di depanpetugas
|
Sumber : Depkes, 2012
Tabel
2.6 Dosis MDT tipe MB
Obat
|
5
– 9 tahun
|
10
– 14 tahun
|
>
15 tahun
|
Keterangan
|
Rifampisin
|
300
mg /bulan
|
450
mg /bulan
|
600
mg /bulan
|
Diminum
di depanpetugas
|
Dapson
|
25 mg /bulan
25 mg/bulan
|
50 mg /bulan
50 mg/bulan
|
100 mg /bulan
100
mg/bulan
|
Diminum di
depanpetugas
Diminum di rumah
|
Lamprene
|
100
mg /bulan
50
mg 2x seminggu
|
150
mg /bulan
50
mg 3x seminggu
|
300
mg /bulan
50
mg /hari
|
Diminum
di depanpetugas
Diminum
di rumah
|
Sumber : Depkes, 2012
2.2.8
Pencegahan
Penyakit kusta merupakan
penyakit dengan aspek sosial psikologis yang sangat luas dan mempunyai kaitan
erat dengan aspek sosial dan ekonomi. Pencegahan penyakit kusta dimaksudkan
untuk menurunkan prevalensi dengan memutuskan rantai penularan. Vaksinasi BCG
sebagai bagian dari suntikan kekebalan pada masa anak-anak harus tetap
dilanjutkan di negara-negara yang masih memiliki kasus kusta. Meningkatkan personal hygiene dan sanitasi disamping
gizi yang turut berperan dalam pembentukan daya tahan tubuh (Djuanda, 2006).
Cara terbaik untuk
melakukan pencegahan cacat atau prevention
of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT) yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda
reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin (Djuanda, 2006).
2.2.9
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada
perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik (Djuanda, 2006). Reaksi kusta
merupakan reaksi hipersensitivitas, yaitu hipersensitivitas selular (reaksi
reversal/tipe 1), saat terjadinya
peningkatan cellular mediated
imunity (CMI) atau hipersensitivitas humoral (reaksi tipe 2/ENL). Reaksi
kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi tidak menutup kemungkinan
terjadi setelah pengobatan (Depkes, 2012).
Tabel 2.7 Faktor pencetus reaksi kusta
Reaksi tipe 1
|
Reaksi tipe 2
|
Pasien
dengan bercak multiple dan bercak
luas pada wajah dan lesi
|
Obat MDT kecuali lamprene
|
Selama
kehamilan trimester ke 3 dan paling tinggi 6 bulan pertama setelah menyusui
|
Kehamilan awal (karena stres mental), trimester ke 3
dan setiap masa kehamilan
|
Infeksi
penyerta, hepatitis B dan C
|
Infeksi penyerta streptococcus,
virus
|
Neuritis
atau riwayat nyeri saraf
|
Stres fisik dan mental serta trauma dan operasi
|
Sumber
: Depkes, 2012
Klasifikasi
reaksi kusta adalah :
1)
Reaksi
reversal atau Reaksi Upgrading
Reaksi ini lebih banyak terjadi pada pasien yang berada
di spektrum borderline (BL, BB, dan
BT), karena tipe ini adalah tipe yang tidak stabil. Reaksi tipe ini terjadi
selama pengobatan karena adanya peningkatan hebat respon imun selular secara
tiba-tiba, mengakibatkan terjadinya respon inflamasi pada daerah kulit dan
saraf yang terkena (Depkes, 2012).
Gejala dari reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh
lesi yang telah ada bertambah aktif & atau timbul lesi baru dalam waktu
yang relatif singkat. Lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi
makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin
infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas (Djuanda, 2006).
2)
Eritema
Nodusum Leprosum (ENL)
Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III
yang terjadi pada pasien tipe MB (LL dan BL). Reaksi yang terjadi adalah reaksi
humoral berupa reaksi antigen dan antibodi pasien yang akan mengaktifkan sistem
komplemen sehingga terbentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan
menimbulkan respon inflamasi dan akan terdegradasi dalam beberapa hari dan akan
beredar dalam sirkulasi darah dan mengendap
ke berbagai organ (Depkes, 2012). Gejala klinis pada kulit berupa nodus
eritema dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai serta dapat
disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat (Djuanda, 2006).
Tabel 2.8 Perbedaan reaksi kusta
Gejala dan Tanda
|
Reaksi tipe 1
|
Reaksi tipe 2
|
Tipe Kusta
|
Dapat terjadi pada
kusta MB maupun PB
|
Hanya pada kusta tipe
MB
|
Waktu timbulnya
|
Biasanya segera
setelah pengobatan
|
Biasanya setelah mendapatkan pengobatan yang lama,
umumnya lebih dari 6 bulan
|
Keadaan umum
|
Umumnya baik, demam
ringan atau tanpa demam
|
Ringan sampai berat disertai kelemahan umum dan demam
tinggi
|
Peradangan di kulit
|
Bercak kulit lama
menjadi lebih meradang (merah), bengkak, berkilat, hangat. Kadang-kadang
hanya pada sebagian lesi. Dapat timbul bercak baru
|
Timbul nodus kemerahan, lunak dan nyeri tekan. Biasanya
pada lengan dan tungkai. Nodus dapat pecah
|
Saraf
|
Sering terjadi,
umumnya berupa nyeri saraf dan atau gangguan fungsi saraf. Silent neuritis (+)
|
Dapat terjadi
|
Udem pada ekstremitas
|
Ada
|
Tidak ada
|
Peradangan pada mata
|
Anestesi kornea dan
lagoftalmus karena keterlibatan N.V dan N.VII
|
Iriditis, iridosiklitis, glaukoma, katarak
|
Peradangan pada organ lain
|
Hampir tidak ada
|
Terjadi pada testis, sendi, ginjal, KGB
|
Sumber
: Depkes, 2012
Komentar
Posting Komentar