1.1
Latar Belakang
Depresi adalah gangguan mental yang pada umumnya ditandai
dengan kesedihan, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau
harga diri yang rendah, susah tidur atau berkurangnya nafsu makan, perasaan
kelelahan dan kurang konsentrasi (WHO, 2014). Menurut WHO tahun 2013, depresi
menduduki peringkat ketiga salah satu gangguan jiwa terbesar di dunia dan
sedikitnya 350 juta orang hidup dengan depresi pada tahun 2012.
Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali Jawa Tengah,
Bangka Belitung, Jawa Timur dan Nusa Tenggara merupakan provinsi yang mempunyai
pasien dengan gangguan jiwa berat terbanyak di Indonesia (Riskesdas, 2013).
Masalah gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan depresi pada orang dewasa
secara nasional mencapai 11,6 persen. Depresi tidak hanya timbul dari perilaku
diri sendiri, tetapi juga akibat dari berbagai bentuk perilaku masyarakat.
Isolasi sosial dan hinaan oleh masyarakat dapat menjadi penyebab depresi pada
sekolompok pasien yang mempunyai penyakit kulit, salah satunya kusta(Kaur &
Van Brakel, 2002). Isolasi sosial dan hinaan fisik ini menyebabkan penderita kusta merasa bahwa dirinya
aneh bagi masyarakat ditambah dengan adanya stigma yang negatif dari
masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit menular yang berbahaya,
penyakit keturunan, penyakit kutukan sehingga masyarakat tidak suka dan takut
pada penderita kusta terutama yang mengalami kecacatan (Depkes, 2006).
Penyakit kusta(Morbus
Hansen/Leprosy) adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama kali menyerang
susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran
pernapasan bagian atas, mata, otot dan tulang (Harahap, 2000). Penyakit kusta
merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat
kompleks (Depkes, 2012).Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara
yang sedang berkembang terutama di wilayah tropis sebagai akibat keterbatasan
kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang
kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat (Depkes,
2012).
Angka kejadian kusta di dunia dari tahun ke tahun
sudah menunjukkan penurunan, namun angka tersebut masih tetap tergolong tinggi
(WHO, 2010). Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah 219.075 kasus dan Indonesia masuk sebagai
salah satu dari 17 negara yang
melaporkan 1000 atau lebih kasus baru selama tahun tersebut (Depkes, 2012).
Indonesia merupakan negara yang memiliki angka
penyebaran penyakit kusta cukup tinggi (Amiruddin, 2012). Menurut Kurniawan
(dalam Fadilah 2013) pada tahun 2009 dengan jumlah kasus sebanyak 21.026,
Indonesia menempati peringkat ketiga jumlah kasus kusta terbanyak di dunia
setelah India dan Brazil. Tercatat pada tahun 2010 sebanyak 20.329 orang, tahun
2011 sebanyak 20.023 orang, tahun 2012 sebanyak 18.994 orang, serta tahun
2013dilaporkan sebanyak 16.856 kasus baru.Persentasenya adalah sebesar 83,4%
kasus tipe multibasiler dan 35,7% penderita berjenis kelamin perempuan
(Riskesdas, 2013).
Distribusi beban tinggi penyakit kusta di
Indonesia lebih banyak tersebar di wilayah Indonesia bagian timur. Provinsi
Aceh merupakan satu-satunya wilayah di Indonesia bagian barat yang memiliki
distribusi beban tinggi penyakit kusta, yaitu sebanyak 12,32 % atau dengan
kasus baru besar dari 1000 penduduk (Dirjen P2 dan PL, 2015). Data
dariKementerianKesehatanRepublik Indonesia didapatkan, 13provinsi yang
masihtinggiprevalensikasuspenyakitkustadiantaranya Aceh, JawaTimur, Sulawesi
Utara, Papua Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan (Depkes, 2013).
Data dari Dinas Kesehatan Provinsi
Aceh pada tahun 2013 didapatkan dari 331 puskemas yang ada di provinsi Aceh,
181 puskesmas mempunyai pasien terdiagnosis kusta. Kabupaten Abdya adalah
kabupaten dengan total Case DetectionRate
(CDR) penderita kusta tertinggi di wilayah Aceh, disusul oleh Kabupaten Nagan dan
Aceh Utara (Dinkes Aceh, 2013). Tahun 2010-2014, jumlah penderita kusta baru Kabupaten
Aceh Utara adalah 45, 48,51, 45 dan 42 orang. Data ini menunjukkan terjadinya fluktuasi
penderita kusta (Dinkes Aceh Utara,
2014).Hasil observasi penulis diBadan Layanan Umum Daerah (BLUD) RSU Cut MeutiaKabupaten
Aceh Utara didapatkan, bahwa 30 orang penderita kusta baru pada tahun 2014
masih banyak yang memanfaatkan poliklinik RSU untuk berobat.
Penyakitkustadapat menyerang semua kelompok umur, yang
berakibat jika tidak terdiagnosis dan diobati secara dini, akan menimbulkan
dampak pada tubuh terutama kulit. Kustaumumnya dapat menyebabkan penderitanya
dijauhi, dikucilkan, diabaikan oleh keluarga dan sulit mendapatkan pekerjaan. Laki-laki
ataupun perempuan yang terdiagnosis kusta akan tergantung secara fisik dan finansial kepada
orang lain yang pada akhirnya berujung pada kemiskinan (Depkes, 2010).Pasien
kusta juga harus siap mendapatkan perlakuan diskriminatif, stigma dari
lingkungannya sendiri sehingga sering tidak bisa menempuh jenjang pendidikan
yang lebih tinggi(Siagian, JMC, Marxhia, CR, &Siswati, AS 2009;Fajar, 2010).Masyarakat cenderung mengucilkan dan memberikan
isolasi sosial kepada penderita kusta sehingga penderita kusta tidak hanya menderita karena
sakitnya saja, tetapi juga menyebabkan depresi pada diri pasien sendiri (Kaur
& Van Brakel, 2002).
Komentar
Posting Komentar